STANDAR UPAH YANG ADIL

A. Pendahuluan.

Kerja merupakan salah satu kegiatan penting bagi kehidupan manusia, bahkan terkadang menjadi sangat dominan dibanding dengan aktifitas-aktifitas lainnya terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Kerja dapat diartikan secara umum maupun khusus. Secara umum, kerja mencakup semua bentuk usaha yang dilakukan oleh manusia, baik dalam mencari materi maupun non materi, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Dengan demikian, semua bentuk aktifitas manusia dimaknai kerja. Dalam pengertian semacam ini kerja tidak selalu berkaitan dengan kompensasi, terutama kompensasi materi atau uang. Sementara dalam pengertian khusus, kerja dimaknai secara aktifitas manusia yang bertujuan untuk mendapat-kan kompensasi material yang sering dengan upah atau gaji.[1]

Memang, sangat berkaitan antara istilah harga yang adil dan upah yang adil. Soal upah ini, Aquinas hanya menyatakan, atas subyek ini berlaku aturan yang sama dengan keadilan atas harga.[2] Penulis dalam hal ini tidak menemukan keterangan lebih rinci tentang subyek ini, berkaitan dengan doktrin ekonomi yang berlaku di zaman pertengahan. Ringkasnya, penulis bisa menyatakan bahwa upah yang adil itu, di mata para fisuf abad pertengahan, berarti dasar pengupahan yang dibutuhkan untuk memungkinkan pekerja itu hidup layak pada kondisi dan situasi di mana ia hidup.[3]

Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.[4]

Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat di atas, maka Islam menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat. Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam al-Qur’an sebagai berikut :

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ {التوبة : 105 }

Artinnya : “Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.

Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia, memberikan penghargaan dan apresiasi sangat positif terhadap kerja, baik dalam pengertian umum maupun khusus. Ajaran Islam mendorong umatnya untuk giat bekerja, sebab bekerja itu merupakan salah satu misi utama manusia diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadah merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan merupakan wujud syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sekaligus untuk menegakkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala.

Pada dasarnya setiap transaksi kerja akan menimbulkan kompensasi. Dalam terminologi fiqh mu’amalah, kompensasi dalam transaksi uang dengan tenaga kerja manusia disebut dengan ujrah (upah). Berbicara tentang kompensasi dari hasil kerja yaitu upah dalam pandangan Islam, ia merupakan hak dari orang yang telah bekerja dan kewajiban bagi orang yang mempekerjakan.

Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkan upah, sebab upah (ujrah) adalah kompensasi atas jasa yang telah diberikan seorang tenaga kerja. Perampasan terhadap upah adalah suatu perbuatan buruk yang akan mendapat ancaman dan siksaan dari Allah subhanahu wa ta’ala.[5] Pada kenyataan, dalam pola suatu masyarakat Islam, upah yang layak bukan merupakan suatu konsepsi, tetapi suatu hak asasi, yang dapat dipaksakan oleh seluruh kekuasaan negara. Meskipun tujuan dari penetapan upah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat terutama kaum buruh, namun dalam dunia usaha nasib para pekerja tidak lebih baik.

Tingkat upah yang adil merupakan tujuan kebijakan pengupahan dalam Islam sehingga tidak dibenarkan pemerintah menetapkan suatu upah hanya semata-mata karena ingin meningkatkan kesejahteraan kaum buruh (ajir) di satu sisi, tetapi menimbulkan kedzaliman kepada produsen disisi lain (musta’jir). Akan tetapi, seandainya terdapat terdapat hal-hal yang sedemikian rupa sehinga mendistorsi mekanisme pasar yang normal maka pemerintah justru harus melakukan kebijakan penetapan upah. Sebab, dalam keadaan ini tingkat upah di pasar tidak mencerminkan keadilan.[6]

Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan di atas, maka konsep manajemen syariah dalam pengupahan karyawan perusahaan menjadi penting untuk diteliti, bagaimana sebenarnya Islam menggariskan aturan tentang pengupahan tersebut. Sedikit lebih rinci adalah pembahasan atas problem itu, yang ditemukan dari hasil pemikiran fiqh Islam.

Pada dasarnya fiqh Islam dalam bidang mu’amalah tampaknya relative lues. Keluaesan dalam bidang ini dapat dipahami dari beberapa kaidah umum yang dipegangnya dalam berbagai masalah aqad (perjanjian/transaksi). Yang terpenting ialah kaidah :

الاصل فى العقد وهو العدل [7]

Artinya : “Prinsip dasar dalam (melakukan) akad ialah keadilan.”

Kaidah ini menunjukkan bahwa fiqh Islam sangat mempertahankan prinsip keadilan dalam ber-mu’amalah, karena di antara tujuan Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya ialah untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat manusia. Salah ulama yang juga membahas tentang upah adalah Ibnu Taimiyah, di mana ia menghubungkannya dengan tingkat upah pada pasar tenaga kerja (tas’ir fil-a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).[8] Sebagai harga, prinsip dasar yang digunakan untuk meninjaunya adalah definisi sepenuhnya atas kualitas dan kuantitas. Upah dan harga keadaannya tak menentu dan tak dipertimbangkan, hanya dalam kasus masalahnya tak begitu khusus atau tak jelas atau jenisnya tak diketahui, misalnya kasus yang tak menentu dan penuh spekulasi (perjudian untung-rugi).[9] Harus diingat bahwa selama keadaan demikian, upah maupun harga, sesekali dibayar dengan barang.

Upah yang setara diatur menggunakan aturan yang sama dengan harga yang setara. Dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari upah, dalam kondisi normal ditentukan oleh tawar-menawar kedua pihak, antara pemberi kerja dan penerima kerja. Dengan kata lain, pekerja diperlakukan sebagai barang dagangan, tunduk pada hukum ekonomi tentang permintaan dan penawaran. Dalam kasus pasar yang tak sempurna (tak normal), upah yang setara ditetapkan dengan cara yang sama dengan harga yang adil. Misalnya, jika penduduk membutuh­kan jasa petani, peladang atau akan ikut serta bekerja dalam industri tekstil atau konstruksi, tetap mereka tidak siap memberikan pelayanan mereka, otoritas bisa menetapkan upah yang setara. Jadi, pemberi kerja (employer) tak boleh mengurangi upah dari pekerja atau pekerja itu menginginkan upah yang lebih tinggi ketimbang upah yang adil.[10]

Pemikiran fiqh Islam tentang penetapan upah di atas menggambarkan bahwa upah yang setara akan dipertimbangkan oleh penetapan upah (musamma), jika ketetapan upah (musamma) itu ada, di mana dua pihak bisa menerima. Adil, seperti dalam kasus penjual atau penerima upah/harga yang ditetapkan (tsaman musamma) berpijak pada harga yang setara.[11] Prinsip ini berlaku bagi pemerintah maupun individu. Jadi, jika pemerintah ingin menetapkan upah atau kedua pihak (employer dan employee) tidak bersepakat tentang besarnya upah, mereka harus bersepakat tentang besarnya upah yang ditetapkan pemerintah, yang berpijak pada kondisi normal. Ini seyogianya berlaku dalam penetapan dan penerimaan, untuk jenis pekerjaan tertentu. Pendapat ini merupakan sebuah pemikiran yang sangat mendalam dan lebih maju dalam menginterpretasikan makna upah yang adil dalam al-Qur’an dan Sunnah.[12]

Berbeda dengan kosep upah dunia, dimana masalah pengupahan atau gaji adalah masalah yang tidak pernah selesai diperdebatkan oleh pihak manajemen, apapun bentuk organisasinya.  Upah seolah-olah kata-kata yang selalu membuat pihak manajemen perusahaan berpikir ulang dari waktu ke waktu untuk menetapkan kebijakan tentang upah.  Upah juga yang selalu memicu konflik antara pihak manajemen dengan karyawan seperti yang banyak terjadi di Indonesia.

Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga   dalam pengertian barat, Perbedaan gaji  dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak). Meskipun titik berat antar upah dan gaji terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah  tidak. Penjelasan tentang upah dunia ini merupakan sebuah keterangan yang menyudutkan para pekerja dan termasuk bagian yang tidak pernah adil bagi mereka. Berangkat dari latar belakang di atas, berikut penulis paparkan tentang standar upah yang adil di dalam Islam.

 

B. Pembahasan.

Keadilan merupakan prinsip yang pertama dan terutama dalam pembahasan kita. Pola pikirnya berangkat dari pandangan al-Qur’an yang menyerukan agar kita meng­ikuti prinsip ini dalam seluruh kehidupan kita. Walaupun prinsip keadilan ini menyentuh setiap individu, namun yang paling diutamakan adalah akibat yang ditimbulkannya terhadap kehidupan sosial. Jika kita mengadakan hubungan sosial dengan individu lain, maka persoalan keadilan tidak bisa dan tidak akan menjadi hal yang harus diikutsertakan. Persoalan keadilan ini akan lebih jelas lagi jika ia dikaitkan dengan aspek ekonomi. Dengan demikian akan sering kita dengar perkataan adil dan tidak adil dalam hubungan-hubungan sosial.

Dengan kata lain, persoalan keadilan juga mem-permasalahkan cara-cara yang kita pakai untuk mencapai tujuan kita. Seseorang bukan saja di­paksa untuk memilih berbagai alternatif dalam mencapai tujuannya, tetapi juga pilihan antara yang adil dan tidak adil. Tiap-tiap pilihan ekonomi juga melibatkan pilihan etika. Hal ini juga berlaku dengan etika perdagangan yang dibuat oleh para pengusaha. Termasuk di dalamnya persoalan harga dan upah yang telah ditentukan oleh pengusaha tersebut, atau sistem periklanan yang digunakannya, ataupun masalah yang lebih penting lagi, mengenai pembagian keuntungan, yang kesemuanya merupakan masalah yang berkaitan dengan ekonomi dan etika.

Semua ini mungkin merupakan pernyataan yang ganjil bagi mereka yang telah biasa membedakan etika dengan ekonomi dan yang cenderung memperbincangkan semua persoalan ekonomi sebagai masalah yang berkaitan dengan pembuatan pilihan antara penggunaan kaidah-kaidah alternatif yang langka tanpa memper­timbangkan nilai-nilai etika yang ada.

Fokus perhatian  fiqh Islam dalam masalah ekonomi Islam terletak pada masyarakat, fondasi moral dan bagimana mereka harus membawakan dirinya sesuai dangan syariah. Untuk tugas ini, secara bersama-sama, pemerintah dan ulama harus membimbing dan mendorong masyarakat. Ia juga mendiskusikan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku ekonomi individu dan kenteks hidup bermasyarakat, seperti akad dan upaya menaatinya, harga dan upah yang wajar dan adil, pengawasan pasar, keuangan Negara, dan peranan Negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup rakyat.

Dalam suatu masyarakat yang diperintah penguasa yang korup dan masyarakat yang berpikiran duniawi semata, ia lebih menyerukan penguatan susunan moral masyarakat dari pada teladan invidual yang dapat mengakibatkan penarikan diri kehidupan bermasyarakat. Cara pendekatanya adalah untuk mendefinisikan berbagai batasan dalam dunia ekonomi dan dalam melaksanakan hak kepemilikan pribadi, dangan harapan bahwa selama para pelaku ekonomi mengikuti aturan main yang berlaku, moral alami masyarakat dapat bertahan.

Dalam transaksi ekonomi, fokus perhatian fiqh Islam tertuju pada keadilan yang hanya dapat terwujud jika semua akad berdasarkan pada kesediaan menyepakati dari semua pihak. Agar lebih bermakna, kesepakatan ini harus didasarkan pada informasi yang memadai. Moralitas seperti yang diperintahkan agama memerlukan keharusan tidak adanya paksaan, tidak adanya kecurangan, tidak mengambil keuntungan dari keadaan yang menakutkan, atau ketidaktahuan dari salah satu pihak yang melakukan akad. Ketika berbagai aturan ini ditaati, harga pasar dan upah yang terjadi wajar dan adil dengan syarat tidak adanya sesuatu yang ditahan untuk menaikannya.

Secara umum, pandangan-pandangan ekonomi Islam cendrung bersipat normatif. Namun demikian, terdapat beberapa wawasan yang dapat dikategorikan sebagai pandangan ekonomi positif. Dalam hal ini, penulis menyadari sepenuhnya peranan permintaan dan penawaran dalam menentukan harga, dan pembahasan tentang upah mengikuti pembahasan harga.

Mengenai masalah upah, penulis menghubungkan-nya dengan tingkat upah pada pasar tenaga kerja dan menggunakan istilah upah yang setara. Sebagai harga, prinsip dasar yang digunakan untuk meninjaunya adalah definisi sepenuhnya atas kualitas dan kuantitas. Upah dan harga keadaannya tak menentu dan tak dipertimbangkan, hanya dalam kasus masalahnya tak begitu khusus atau tak jelas atau jenisnya tak diketahui, misalnya kasus yang tak menentu dan penuh spekulasi (perjudian untung-rugi). Harus diingat bahwa selama keadaan demikian, upah maupun harga, sesekali dibayar dengan barang.

Upah yang setara diatur menggunakan aturan yang sama dengan harga yang setara. Dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari upah, dalam kondisi normal ditentukan oleh tawar-menawar kedua pihak, antara pemberi kerja dan penerima kerja. Dengan kata lain “menurut hemat penulis”, pekerja diperlakukan sebagai barang dagangan, tunduk pada hukum ekonomi tentang permintaan dan penawaran. Dalam kasus pasar yang tidak normal, upah yang setara ditetapkan dengan cara yang sama dengan harga yang adil. Misalnya, jika penduduk membutuh­kan jasa petani, peladang atau akan ikut serta bekerja dalam industri tekstil atau konstruksi, tetap mereka tidak siap memberikan pelayanan mereka, otoritas bisa menetapkan upah yang setara. Jadi, pemberi kerja (employer) tak boleh mengurangi upah dari pekerja atau pekerja itu menginginkan upah yang lebih tinggi ketimbang upah yang adil.

Pemikiran fiqh Islam tentang penetapan upah di atas menggambarkan bahwa upah yang setara akan diper-timbangkan oleh penetapan upah jika ketetapan upah itu ada, di mana dua pihak bisa menerima. Adil, seperti dalam kasus penjual atau penerima upah atau harga yang ditetapkan berpijak pada harga yang setara. Prinsip ini berlaku bagi pemerintah maupun individu. Jadi, jika pemerintah ingin menetapkan upah atau kedua pihak tidak bersepakat tentang besarnya upah, mereka harus bersepakat tentang besarnya upah yang ditetapkan pemerintah, yang berpijak pada kondisi normal. Ini seyogianya berlaku dalam penetapan dan penerimaan, untuk jenis pekerjaan tertentu.

Dalam pandangan penulis, ada kebutuhan pokok manusia seperti sandang, pangan, papan dan sebagainya yang harus dipenuhi dan Negara bertanggungjawab untuk mengatur kebutuhan mereka. Dalam kaitan ini, penetapan upah oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, hak itu bersifat absolute. Sebab, seperti diketahui oleh umum, sebenarnya upah itu ditetapkan melaui kekuatan permintaan dan penawaran (perjanjian atau aqad). Hanya saja dalam kasus di mana upah naik dan turun karena terjadinya ketidak adilan atau ketidak sempurnaan mekanisme perusahaan disebabkan oleh ulah pengusaha, maka pemerintah boleh ikut campur dalam menetapkan upah. Penulis juga menyadari dampak negative dari regulasi upah. Karena itu, sebaiknya untuk mewujudkan gagasan itu, dibentuk sebuah dewan dimana kepentingan pengusahan dan pegawai terwakili, sehingga mereka bekerja dengan sepenuh hati dan kemungkinan munculnya korupsi bisa dihilangkan. Dalam kondisi saat ini dianjurkan diadakan-nya pengawasan atas regulasi upah.

 

C. Kesimpulan.

Setelah penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ekonomi Islam, terletak pada masyarakat, fondasi moral dan bagimana mereka harus membawakan dirinya sesuai dangan syariah, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun konsep upah yang adil diatur menggunakan aturan yang sama dengan harga yang setara, di mana dalam kondisi normal ditentukan oleh tawar-menawar kedua pihak, antara pemberi kerja dan penerima kerja. Dengan kata lain, pekerja diperlakukan sebagai barang dagangan, tunduk pada hukum ekonomi tentang permintaan dan penawaran. Dalam kasus pasar yang tak normal, upah yang setara ditetapkan dengan cara yang sama dengan harga yang adil. Prinsip ini berlaku bagi pemerintah maupun individu. Jadi, jika pemerintah ingin menetapkan upah atau kedua pihak tidak bersepakat tentang besarnya upah, mereka harus bersepakat tentang besarnya upah yang ditetapkan pemerintah, yang berpijak pada kondisi normal. Oleh karenanya, dalam kondisi saat ini dianjurkan diadakannya pengawasan atas regulasi upah.


[1] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islam, (Yogyakarta: Ekonisia UII, 2003), h. 222

[2] Aquinas, ST. T., Summa Theologica II, Petanyaan kedua LXXVII, Artikel 1. Disadur oleh Dr. A.A. Islahi dalam Konsepsi Ekonomi Fiqh Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), h. 98

[3] Gray, S. A. dan Thomson, A., The Development of Economic Doctrine Longman, (New York: t.p., 1980), h. 42

[4] Ibid., h. 7

[5] Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 124

[6] A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Fiqh Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), h. 98

[7] Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim al-‘Asimi, Majmu’ Fatawa Syaikh al- Islam Ahmad ibn Taimiyah, (t.t.: t.p, t.th.), Juz 19, h. 191

[8] Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah wa Mas’uliyah Al-Hukumah Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Shab, 1976), h. 34

[9] Ibnu Taimiyah, Al-Masa’il Al-Mardiniyah, (Damaskus: Manshurat Al-Maktab Al-Islami, 1964), h. 103

[10] Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah, op.cit., h. 34

[11] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Shaikh Al-Islam, vol. 34, (Riyad: Matabi’ Al-Riyad, 1963), h. 72

[12] Muhammad Amin Suma, Ijtihad Fiqh Islam Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 194

Tinggalkan komentar