POLITIK UANG DAN DZIKIR POLITIK MENJELANG PESTA DEMOKRASI

Oleh :

AHMAD RAJAFI SAHRAN

Pemilihan umum dan kepala daerah (gubernur) di Propinsi Lampung tidak lama lagi akan terlaksana di tahun ini. Begitu banyak baliho-baliho yang bertebaran untuk menunjukkan profil setiap calon, bahkan profil individu yang biasanya menunjukkan bahwa seseorang telah meninggal – seperti di dalam Surat Yasin – kini terus menjadi alat politik bagi setiap calon anggota dewan dan calon gubernur di Indonesia. bahkan Masih dalam ingatan kita pula di lima tahun yang lalu, di mana muncul gambar-gambar yang berbau politik di muka Kitab Suci umat Islam yakni al-Qur’an.

Fenomena politik di atas pada dasarnya merupakan “anak-cucu” yang lahir dari rahim Demokrasi. Sebuah sistem yang sangat diminati oleh hampir semua negara berkembang – untuk tidak menyebutkan sebagai negara miskin – dalam menciptakan negaranya yang lebih baik. Entah apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Demokrasi pada awalnya, akan tetapi secara historis istilah demokrasi merupakan lambang untuk menunjukkan persamaan hak dan kewajiban, tidak adanya pembedaan Suku, Agama, Ras, warna kulit, dll. Akan tetapi dalam perjalanannya, demokrasi saat ini seperti lari dari khithah-nya karena mengajarkan tentang penguasaan sepihak secara sistematis oleh orang-orang yang “berkuasa”.

Mark Woodward seorang Dosen Arizona State University dalam salah satu statemennya di dalam Seminar Internasioanal di PPs IAIN Raden Intan Lampung (12/12/13) menjelaskan bahwa salah satu dari dampak demokrasi adalah munculnya suasana gembira yang “membudaya” dengan bertebarannya politik uang demi meloloskan kehendaknya untuk meraih jabatan tersebut. Statemen tersebut memang tidak bisa dipungkiri oleh kita sebagai bangsa Indonesia yang baru bangun dari tidur panjang pasca lengsernya Orde Baru. Hal ini kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang mewajibkan rakyatnya untuk memilih langsung para pemimpin di daerahnya seperti walikota, kabupaten dan propinsi. Akibatnya, pesta demokrasi yang seharusnya menciptakan pemerintahan yang akan semakin dekat dengan rakyat, sekaligus akan menciptakan akuntabilitas yang tinggi dari rakyat untuk pemerintahan lokal, rakyat menjadi semakin kritis dalam merespon kebijakan di tingkat lokal, dan terbangunnya political equality (persamaan politik) di tingkat lokal, namun terbalik seratus delapan puluh derajat dengan hanya menjadi lahan baru bagi mereka yang ingin berkuasa dan “berduit” plus menjadi lahan baru untuk meraih kuntungan yang sebesar-besarnya oleh oknum-oknum politik praktis dari para calon yang didekatinya.

Fenomena faktual di atas ternyata naik kelas, dari yang awalnya hanya menerapkan money politics, kini bertambah dengan menerapkan isu-isu agama dalam politik demokarsi di Indonesia. Sebut saja dengan merebaknya hadiah-hadiah umroh dan wisata religis secara gratis yang ditebar oleh para calon kepala daerah, dzikir dan istighatsah yang dilaksanakan demi mendapatkan “restu” Ilahi, dan lain-lain. Lalu apakah semua itu direstui oleh demokrasi ? Tentu secara normatif semua itu tidak diperkenankan di dalam demokrasi, akan tetapi hal ini bertentangan dengan sifat sosiologis yang selalu menghendaki adanya perubahan di dalam masyarakat.

Namun perlu dipahami bahwa manusia sebagai mahluk sosial tidak bisa terlepas dari nilai etik. Manusia dapat berbuat dan meraih apapun, namun apakah cara yang ditunjukkannya tidak lari dari nilai etik di dalam masyarakat, atau bahkan termasuk dari golongan yang siap untuk merusak sistem sosial yang telah dibangun dengan baik ? Disinilah pentingnya untuk menguatkan idealisme setiap calon dan seluruh masyarakat dan tidak mengedepankan unsur pragmatisnya. Jangan sampai akibat kebutuhan maslahat yang sesaaat kemudian melahirkan kerusakan (mafsadat) yang berkepanjangan. Sebagai seorang yang beragama, prinsip menjaga kebaikan adalah keharusan setiap individu untuk menghadirkannya, dan menutup diri dari kerusakan adalah kewajiban selanjutnya.

Mengenai hal ini, di dalam Islam dikenal firman Allah swt yang menjelaskan bahwa “telah nyata kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan manusia” (QS.30:41) lalu firman lain yang menjelaskan bahwa “dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (QS.17:16). Sikap durhaka pada dasarnya bukan sekedar urusan keimanan yang menyangkut masalah person dengan Tuhannya, akan tetapi lebih karena keseimbangan hidup yang dirusak oleh person-person yang tidak bertanggungjawab tersebut. Dalam hal ini, nikmat adalah urusan di bumi dan bukan urusan langit, maka menjadi tanggung jawab masyarakat bumi untuk mengelolanya dengan baik. Sikap durhaka terhadap nikmat berarti meremehkan dan merendahkan potensi kebaikan yang ada pada diri setiap manusia yang tinggal di bumi ini dan makhluk disekelilingnya, inilah yang kemudian menurut hemat kami dapat disebut dengan durhaka terhadap ayat-ayat kosmik.

Untuk itu, menjadi sebuah harapan besar dari setiap orang-orang yang beragama agar para agamawannya tidak terbawa arus politik yang kemudian menelan mereka. Kita harus kembali pada kehendak positif dari keterlibatan para agamawan di dalam politik praktis, seperti memberi pengaruh berlangsungnya pesta demokrasi yang aman dan damai. Karena otoritas agama sebagai figur kharismatik bagi massa pemilih akan berfungsi sebagai elemen pemersatu, baik melalui tindakan atau ”fatwa” yang dikeluarkan. Bukan sebaliknya, yakni membawa umatnya masuk ke dalam kehendak politik kepentingan dan keuntungan sementara. Menjadi sangat positif ketika perputaran uang yang terjadi di dalam aksi politik di masyarakat dapat dijelaskan secara bijak oleh para agamawan melalui penggunaan dalil-dalil agama demi kebaikan semua orang. Bukan kemudian menjualnya dengan harga yang murah (QS.2:41) dan bahkan ikut menjual harga dirinya demi lembaran rupiah yang juga tidak terlalu banyak.

Harapan besar dari setip umat adalah, jangan sampai penggunaan ayat-ayat suci dalam ranah politik praktis. Seperti saat kampanye misalnya, yang lebih banyak ditujukan untuk kepentingan memperoleh dukungan suara, bukan untuk menjelaskan makna sesungguhnya dari ayat tersebut. Praktek seperti ini, yang selalu mengusung firman-firman Tuhan untuk meraih kekuasaan berkecenderungan tidak toleran terhadap pemahaman yang berbeda. Agama kemudian menjadi alat untuk menguatkan kehendak politiknya semata, sehingga setiap yang berbeda dengannya menjadi musuh mereka meskipun sama-sama mengusung firman-firman Tuhan.

Akibat dari politk uang dan dzikir politk di atas, maka terlihat ditataran aksi, uang menjadi “tuhan” baru bagi masyarakat, dan agama hanya sebatas simbol dan slogan, dengan demikian maka tidak ada sedikitpun kontribusi berupa pelajaran politik yang berguna bagi rakyat, apalagi yang mencerdaskan mereka, yang terangkum di dalam pola pikir mereka hanyalah keuntungan sesaat dan jauh dari substansi ajaran agama. Seharusnya agama dapat menjadi instrumen solutif dari berbagai masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pada sisi lain, wacana dan juga praktik politik yang dibangun atas slogan agama yang bersifat simbolik hanya akan mengantarkan pada perdebatan fanatisme antar kelompok agama dan keagamaan, yang apabila ditarik pada konstruk pesta demokrasi, akan mudah terjebak ke dalam eksklusifisme. Sebabnya, pesta demokrasi telah menempatkan komunitas agama tertentu sebagai identitas terpisah dari identitas lainnya. Pada akhirnya, semoga dengan penjelasan di atas, dapat memberi semangat baru bagi masyarakat dan para agamawan di tahun pesta demokrasi ini, baik ditingkat lokal (Lampung) maupun nasional agar mampu menjaga kehormatannya sehingga dapat menghadirkan kabaikan bagi semua.