MENINGGALKAN “BANYAK BICARA” DALAM KEHIDUPAN

Banyak bicara dalam terminologi al-ihsan menuju penyucian diri disebut katsratul kalam, dan hal ini identik dengan perbuatan sia-sia lagi tercela di hadapan manusia bahkan Allah swt. Ini disebabkan karena banyak bicara dapat menghantarkan pada sesuatu yang diharamkan atau dibenci, contohnya adalah pembicaraan tentang kemaksiatan yang mengarah pada gosip, fitnah dan ghibah.

Ada beberapa petunjuk Rasulullah Muhammad saw yang melarang perbuatan banyak bicara ini, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani:

من كثر كلامه كثر سقطه، ومن كثر سقطه كثرت ذنوبه، ومن كثرت ذنوبه فالنار أولى به

Artinya: “Barangsiapa yang banyak bicaranya maka banyak pula terpleset lisannya, barangsiapa yang banyak terpleset lisannya maka banyak pula dosanya, barangsiapa yang banyak dosanya maka neraka lebih utama untuknya.

Terdapat pula riwayat yang tercatat oleh Imam al-Tirmidzi dan al-Baihaqi secara marfu’ ke Rasulullah Muhammad saw:

لا تكثروا الكلام بغير ذكر الله فإن كثرة الكام بغير ذكر الله قسوة للقلب وإن أبعد الناس من الله القلب القاسى

Artinya: “Janganlah kalian banyak berbicara selain hanya untuk menyebut Allah, karen sungguh orang yang banyak berbicara selain untuk menyebut Allah maka hatinya akan mengeras, dan sungguh orang yang jauh dari manusia dan Allah adalah ia yang hatinya keras.”

Riwayat lainnya juga disampaikan dan tercatat oleh Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah secara marfu’ pula ke Rasulullah Muhammad saw:

كل كلام ابن آدم عليه لا له إلا أمرا بمعروف أو نهيا عن منكر أو ذكرا لله

Artinya: “Semua ucapan anak Adam akan berdampak negatif baginya dan tidak akan berimplikasi positif, kecuali ucapan tersebut merupakan ajakan kepada orang lain agar berbuat yang ma’ruf atau larangan untuk berbuat kemungkaran atau senantiasa untuk berdzikir kepada Allah.

Riwayat selanjutnya yang bersifat marfu’ hingga ke Rasulullah Muhammad saw, juga disampaikan oleh Abu al-Syaikh:

أكثر الناس ذنوبا أكثرهم كلاما فيما لا يعنيه

Artinya: “Banyak orang yang akhirnya mengumpulkan dosa hanya karena banyak berbicara yang tidak ada manfaatnya baginya.

Berdasar pada riwayat-riwayat di atas, Imam al-Kurdi (h.439) menasihati agar setiap muslim lebih banyak melakukan kontemplasi dan mengurangi banyak berbicara dengan memperbanyak diam, kecuali pembicaraan yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya di dunia serta akhiratnya. Sebagai bahan penguat, diingatkanlah oleh Imam al-Kurdi dua ayat yang seringkali dilupakan:

وإن عليكم لحافظين كراما كاتبين يعلمون ماتفعلون

Artinya: “dan sungguh bagi kalian ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi pelerjaanmu, yang mulia (di sisi Allah) mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu).” [QS. al-Infithar: 10-11]

إذ يتلقى المتلقيان عن اليمين وعن الشمال قعيد مايلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد

Artinya: “Ketika dua malaikat akan mencatat amal perbuatan seseorang, maka salah satunya duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri, tiada satu ucapan pun yang diucapkan oleh seseorang melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” [QS. Qaf: 17-18]

Alangkah malunya diri ini, ketika ditunjukkan seluruh catatan amal-amal perbuatan, lalu nampak nyata amal perbuatan hasil dari pekerjaan lisan yang lebih didominasi oleh keburukan dan kemaksiatan, bukan perbuatan kebaikan yang disandari oleh kalimah lillahi ta’ala (karena dan untuk Allah semata).

Hendaknya diri ini mengambil hikmah dari apa yang dilakukan oleh al-Rabi’ bin Khutsaim yang tidak pernah mengucapkan hal-hal yang buruk dan tidak berpaedah, karena setiap harinya senantiasa menyiapkan kertas dan pena di atas mejanya, lalu ia catat apa yang telah ia lakukan dan ucapkan, dan di sore harinya ia mengambil catatan tersebut sembari menghisab dirinya sebelum hisab dari Allah swt.

Ada kisah lainnya yang juga dapat dijadikan i’tibar (pelaran), sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Ibnu Ibi al-Dunya. Diceritakab bahwa suatu hari sekelompok orang bertamu kepada Ibrahim bin Adham. Ia menyambut tamu-tamu tersebut. Kemudian diketahuinya bahwa tamu-tamu yang datang ini adalah orang-orang yang mulia.

Berkatalah Ibrahim bin Adham kepada tamu-tamunya, “wasiatilah aku dengan wasiat yang dapat menyababkanku takut kepada Allah seperti takutnya kalian kepada-Nya.” Berkatalah salah datu tamunya tersebut, “Kami akan memberikan wasiat berupa tujuh perkara.

من كثر كلامه فلاتطمع في يقظة قلبه

Artinya: “Siapa yang banyak bicaranya, maka jangan harap akan terjaga hatinya.

من كثر كلامه فلا تطمع في أن تصل اليه الحكمة

Artinya: “Siapa yang banyak bicaranya, maka jangan harap mendapatkan hikmah.

من كثر اختلاطه بالناس فلا تطمع في نواله حلاوة العبادة

Artinya: “Siapa yang kebanyakan bergaul dengan manusia, maka jangan harap memperoleh manisnya ibadah.


من أفرط في حب الدنيا خيف عليه سوء الخاتمة والعياذ بالله

Artinya: “Siapa yang berlebihan dalam mencintai dunia, maka ditakutkan ia akan meninggal dengan su’ul khotimah, semoga kita mendapatkan perlindungan Allah.”


من كان جاهلا فلاترج فيه حياة القلب

Artinya: “Siapa yang bodoh, maka jangan harap hatinya hidup.

من اختار صحبة الظلم فلا ترج فيه استقامة الدين

Artinya: “Siapa yang memilih bersahabat dengan orang yang zalim, maka jangan harap mendapatkan keutamaan istiqamah dalam beragama.”

Wasiat ketujuh atau terakhir adalah:

من طلب رضا الناس فقلما ينال رضاالله تعالى عنه

Artinya: “Orang yang hanya mencari ridha manusia, maka tidak akan sedikitpun ia memperoleh ridha Allah ta’ala.”

Melalui penjelasan-penjelasan di atas, yang di dasari oleh firman-firman Allah, hadits-hadits Rasulullah, serta kisah hikmah dan nasihat ahli hikmah, semoga kiat dapat memulai diri untuk menyedikitkan bicara, kecuali hanya untuk hal-hal yang bermanfaat, baik kemanfaatn dunia maupun kemanfaatan akhirat. Semoga Allah swt senantiasa menjaga dan melindungi kita semua, amin ya Rabbal’alamin.

Wallahua’lam

BUANGLAH SIFAT DUSTA (AL-KIDZB) DARI DALAM DIRI

Syaikh Amin al-Kurdi (h. 437) menjelaskan bahwa makna dari al-kidzb (dusta) adalah “penyampaian suatu informasi yang tidak benar”, sehingga ia mengkategorikan perbuatan tercela tersebut sebagai seburuk-buruknya dosa. Allah swt secara khusus mengingatkan:

…فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللهِ عَلَى الْكَاذِبِيْنَ {آل عمران: ٦١}

Artinya: “…maka kami minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” [QS. Ali Imran: 61]

Rasulullah Muhammad saw pula telah mengingatkan tentang pentingnya bersikap jujur dan menanggalkan sifat dusta dalam diri setiap muslim, beliau bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (رواه مسلم)

Artinya: “Kalian harus berlaku jujur, karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu akan menggiring kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.” [HR. Muslim]

Dalam riwayat lainnya, Baginda Rasulullah Muhammad saw juga memberi pengajaran yang bijak, sebagaimana sabdanya:

حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَا {رواه مالك}

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Malik dari [Shafwan bin Sulaim] berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut? Beliau menjawab: Ya. Kemudian ditanya lagi; apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil (pelit)? Beliau menjawab: Ya. Lalu ditanyakan lagi; apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong? Beliau menjawab: Tidak.” [HR. Malik]

Lebih serius dan tegasnya lagi, Rasulullah Muhammad saw memberi sebuah peringatan agar tidak bermain-main dengan kebohongan atau dusta, sebagaimana sabdanya:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ {رواه أحمد}

Artinya: “Celaka bagi siapa yang berbicara dan berbohong, hanya agar manusia tertawa, celaka baginya, celaka baginya.” [HR. Ahmad]

Pada akhirnya sebagai bahan penutup, Allah swt memberikan penjelasan tentang dikaitkannya pembuat atau penyebar berita bohong dengan krisis keimanan terhadap ayat-ayat suci, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِآياتِ اللهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ {النحل: ١٠٥}

Artinya: “Orang yang mengada-adakan kebohongan itu hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka itulah pembohong.” [QS. An-Nahl: 105]

Wallahua’lam

ADAB BAGI MUALLAF DALAM BER-ISLAM

Assalamualaikum wr wb, salam dakwah narasi online. Kali ini kita akan membahas tentang adab bagi seorang muallaf dalam ber-Islam, sehingga terwujud perintah Allah “udkhulû fissilmi kâffah” yakni masuklah kalian semua ke dalam Islam secara penuh, serta kewajiban kaum muslimin kepada mereka.

Secara tekstual Allah swt menggunakan kata al-muallaf, yang memiliki arti secara bahasa yakni tunduk, menyerah, dan pasrah. Sedangkan secara istilah ia diartikan sebagai orang yang melepaskan keyakinan sebelumnya untuk memeluk agama Islam.

Konsekuensinya dalam Islam, untuk menguatkan sisi ekonominya maka dijadikan status muallaf sebagai salah satu golong yang dapat menerima harta zakat (QS. at-Taubah: 60), dan untuk menguatkan sisi keagamaannya maka dihadirkan halaqah-halaqah keagamaan sebagai pusat pendidikan bagi mereka dan seluruh umat Islam (QS. an-Nahl: 43).

Istilah muallaf juga bukan sembarang label yang Allah berikan kepada mereka, untuk menunjukkan identitas baru mereka, demi menguatkan status sosial-keagamaan di hadapan orang lain, karena label muallaf juga sebagai alarm bahwa mereka masih dalam kondisi yg labil, sehingga butuh banyak irsyadah (petunjuk) dari para ulama.

Untuk itulah, ketika Islam mereka telah mumpuni dan matang, maka label muallaf sudah tidak lagi melekat padanya, dan hukum pemberian zakat kepadanya juga dapat perlahan-lahan dihentikan. Dengan demikian, maka status label muallaf pada hakikatnya bersifat temporer hingga yang bersangkutan telah mampu meneguhkan jati dirinya dengan label sejati, yakni muslim.

Berdasar pada penjelasan di atas, maka adab bagi seorang muallaf adalah menggunakan kedua telinganya untuk lebih banyak mendengar tentang Islam, Iman, dan Ihsan, dan menyedikitkan penggunaan lisannya untuk menjelaskan, bahkan membanding-bandingkan agama lamanya dengan agama barunya di hadapan publik, karena ahli hikmah menjelaskan bahwa orang yang banyak bicaranya, banyak pula salahnya.

Adapun kewajiban selain muallaf adalah memberikan tempat para muallaf di bawah panggung-panggung agama sebagai penyimak dakwah, bukan di atas mimbar sebagai penceramah, serta tidak mudah melabelkan gelar-gelar ustadz/ustadzh kepada mereka, sebelum mumpuni ilmu Islam, Iman, dan Ihsan dalam diri mereka. Fungsinya adalah, untuk menundukkan syahwat duniawi (posisi sosial, pundi-pundi ekonomi, popularitas, dll.) dan meleburkannya ke dalam keridhaan Allah swt.

Wallahua’lam.

Tanggerang, 03 November 2021

MENGHINDARI SIFAT “ADU DOMBA” (NAMIMAH) DALAM KEHIDUPAN

Syaikh Amin al-Kurdi mendefinisikan kata namimah (h. 437) yakni; “menyampaikan perkataan sebagian orang kepada sebagian yang lain dengan maksud buruk, yaitu untuk mengadu antar keduanya”. Allah swt mengingatkan:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ ، هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ {القلم:١١-١٠}

Artinya: “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghasut atau ‘mengadu domba‘.” [QS. Al-Qalam: 10-11]

Mengenai ayat tersebut, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab menafsirkan, “jangan tinggalkan sikapmu yang berbeda dengan setiap orang yang banyak bersumpah, hina, banyak mencela, suka menebar isu yang dapat memecah belah masyarakat, banyak menghalangi perbuatan baik, melampaui batas lagi banyak dosa, keras hati dan kasar serta terkenal dengan kejahatannya, melebihi sifat-sifatnya yang tercela itu.”

Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa demikian itu karena seorang pendusta, mengingat kelemahan dan kehinaannya, dia hanya melindungi dirinya dengan sumpah-sumpah palsu dan justru mengotori nama-nama Allah yang mereka gunakan. Mereka dengan beraninya menggunakannya di setiap waktu dalam sumpah mereka yang bukan pada tempatnya. Mereka pula berjalan di antara manusia kian kemari menghambur fitnah dan menghasut atau “mengadu domba” di antara mereka, dan menebarkan hoax di antara orang-orang yang sedang bermusuhan agar terjadi perkelahian yang dapat berujung saling membunuh di antara mereka.

Sungguh buruk perbuatan namimah atau “adu domba” ini, sampai-sampai Rasulullah Muhammad saw membuat statemen yang begitu tegas, dimana “tidak akan masuk surga orang yang namimah atau menghasut dan ‘mengadu domba’ antar saudaranya.” Dalam riwayat lain juga disebutkan:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ؟ “. قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الذين إذا رُؤوا ذُكر اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ. ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشِرَارِكُمْ؟ الْمَشَّاءُونَ بِالنَّمِيمَةِ، الْمُفْسِدُونَ بَيْنَ الْأَحِبَّةِ، وَالْبَاغُونَ لِلْبُرَآءِ العَنَت {رواه أحمد}

Artinya: “Maukah aku beritakan kepada kalian tentang orang yang paling baik di antara kalian?” Mereka menjawab, “Tentu kami mau, ya Rasulullah.” Rasulullah saw bersabda; (yaitu) orang-orang yang apabila terselip rasa ria, maka ia segera ingat kepada Allah swt. Kemudian Rasulullah saw bersabda kembali; Maukah aku beri tahukan tentang orang yang paling buruk di antara kalian? (yaitu) orang-orang yang suka berjalan kian kemari menghambur hasutan (mengadu domba), dan yang membuat kerusakan di antara orang-orang yang menjalin kasih sayang, serta selalu mengharapkan terjadinya masalah di kalangan orang-orang yang tidak berdosa.” [HR. Ahmad]

Lebih parahnya lagi, Ibnu Hibban dalam al-Targhib wa al-Tarhib (Juz. 3, h. 500) meriwayatkan:

اَلْهَمَّازُوْنَ وَ اللَّمَّازُوْنَ وَ اْلمَشَّاءُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ اْلبَاغُوْنَ لِلْبُرَآءِ اْلعَنَتَ يَحْشُرُهُمُ اللهُ فِى وُجُوْهِ اْلكِلاَبِ

Artinya: “Para pengumpat, pencela dan orang-orang yang berjalan kesana-kemari dengan berbuat ‘adu domba’ yang mencari-cari cela dan keburukan orang-orang yang bersih, kelak Allah akan mengumpulkan mereka itu dalam bentuk wajah-wajah yang menyerupai anjing.”

Pada konteks ini, maka hukum sosial menentang perbuatan “adu domba”, dan menempatkannya dalam kerangka agama sebagai salah satu dosa besar di sisi Allah swt. Untuk itu Syaikh Amin al-Kurdi mengingatkan kepada seluruh umat manusia yang memiliki akal sehat agar menanggalkan sifat namimah ini serta menjauhi orang yang memiliki sifat tersebut. Yahya bin Abi Katsir berkata:

ﺍﻟﻨَّﻤَّﺎﻡُ ﻳُﻔْﺴِﺪُ ﻓِﻲ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﻣَﺎ ﻻ ﻳُﻔْﺴِﺪُ ﺍﻟﺴَّﺎﺣِﺮُ ﻓِﻲ ﺷَﻬْﺮٍ

Artinya: “Pelaku namimah (adu domba) bisa merusak hubungan manusia hanya dalam waktu satu jam saja, sedangkan penyihir terkadang perlu waktu sebulan.

Ibnu Qudamah (ulama yang zuhud dari madzhab Hanbali) dalam kitabnya Mukhtashar Minhaj al-Qashidin (h. 175) menceritakan, bahwa pada suatu hari seseorang akan menjual budak dan menyampaikan kepada pembelinya, “Budak ini tidak mempunyai keburukan fisik sedikitpun, hanya saja ia suka mengadu domba“. Maka si pembeli berkata, “Tidak menjadi soal bagiku.”

Setelah beberapa hari budak itu berada di rumah pembeli, ia menghampiri majikannya yang wanita seraya berkata, “Sebenarnya tuanku tidak mencintaimu. Meskipun begitu ia tetap ingin menikahimu. Jika engkau menghendaki, saya bisa membujuknya agar ia tidak menceraikanmu, lalu ambillah pisau untuk mencukur rambutnya tatkala ia tidur. Hal ini bisa menyihir sehingga ia senantiasa mencintaimu“.

Lalu budak itu berkata kepada tuannya (majikan laki-laki), “Istri tuan berkomplot dengan seseorang dan ingin membunuh tuan selagi tuan sedang tidur.” Pada malam harinya, tuannya pura-pura tidur, lalu sang istri menghampirinya pelan-pelan sambil membawa pisau. Mengira istrinya benar-benar akan membunuhnya, maka ia segera bangkit dan membunuh istrinya terlebihdahulu. Mendengar kabar tersebut, lalu keluarga sang istri mendatanginya dan membunuhnya, maka permusuhan melebar antara keluarga suami dan istri.

Itulah bahayanya sifat namimah atau “adu domba” jika tidak dilengserkan dari dalam hati, na’udzubillah min dzalik. Wallahua’lam.

MENINGGALKAN GHIBAH DALAM KEHIDUPAN

Kata ghibah memiliki kesamaan akar kata dengan kata ghaib, yang berarti sesuatu yang tersembunyi, hal ini karena ghibah – sebagaimana yang dijelaskan oleh Amin Al-Kurdi (h. 436) – merupakan perilaku seseorang yang membicarakan sesuatu yang benar dari saudaranya di belakangnya, dan andaikan saudaranya tersebut mengetahuinya, sungguh ia tidak akan menyukainya, baik pembicaraan tersebut berkenaan tentang tubuhnya, perkataannya, perangainya, agamanya, pekerjaannya, pakaiannya, kediamannya, ataupun kendaraannya, dll., adapun jika yang dibicarakan bukan yang sebenarnya maka dapat dikategorikan sebagai kebohongan dan fitnah yang dosanya lebih besar daripada ghibah. Allah swt memperingatkan:

وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُل لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ {الحجرات:١٢}

Artinya: “Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya.” [QS. al-Hujurat: 12]

Rasulullah Muhammad saw juga memperingatkan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إياكم والغيبة ، فإن الغيبة أشد من الزن ، فإن الرجل قد يزنى ويتوب فيتوب الله سبحانه عليه ، وإن صاحب الغيبة لا يغفر له حتى يغفر له صاحبه

Artinya: “Rasulullah saw telah bersabda; tinggalkan oleh kalian perbuatan ghibah, sesungguhnya dosa ghibah lebih besar dari pada dosa zina, sungguh seseorang yang berbuat zina lalu bertaubat kepada Allah maka taubatnya akan diterima oleh Allah, namun seseorang yang berbuat ghibah tidak akan mendapatkan ampunan Allah hingga ia meminta maaf kepada orang yang ia ghibahi.

Berdasar pada kedua dalil syar’i di atas, maka Amin al-Kurdi menasihati setiap individu muslim yang beriman kepada Allah swt agar berhati-hati untuk tidak memandang remeh perbuatan ghibah, bahkan fitnah, dan jangan pernah beranggapan bahwa amal shalih yang telah dikerjakan akan mampu menghapus dosa ghibah atau fitnah-nya, karena bisa jadi di hari kiamat nanti, orang yang ia ghibah atau fitnah tidak rela dan menuntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt.

Berkenaan dengan dosa ghibah ini, ulama menganjurkan agar orang yang melakukannya banyak memohonkan ampun kepada Allah, berdoa dan melakukan kebaikan-kebaikan lainnnya untuk orang yang telah dia ghibahi tersebut. Dalil akan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., di mana Rasulullah Muhammad saw telah bersabda:

كَفَّارَةُ مَنْ اغْتَبْته أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ

Artinya: “Penebus dosa bagi orang yang mengghibah adalah dengan memperbanyak istighfar untuk orang yang dighibah.

Imam al-Ghazali di dalam Mukasyah al-Qulub (h. 63) mengutip kisah dari ‘Amru bin Dinar, di mana terdapat seorang laki-laki yang memiliki seorang saudara perempuan, lalu saudaranya tersebut sakit, maka ia mendatanginya, setelah beberapa lama saudara perempuannya itu meninggal dan kemudian dikuburkannya.

Setelah mereka pulang dari kubur, lalu ia tersadar bahwa kantong uang (dinar) yang dibawanya telah terjatuh di dalam kubur adiknya. Maka seorang penggali kubur diminta untuk mengambil kantong tersebut dengan menggali kembali kubur saudara perempuannya, dengan rasa penasarannya ia pun membuka liang lahat dimana adiknya disemayamkan, lalu ia mendapatkan bahwa adiknya telah terbakar, badannya tak lagi bersih melainkan hitam seperti arang.

Setelah itu, ia pun pulang dan bertanya kepada ibunya, dosa dan kesalahan apa yang telah dilakukan oleh saudara perempuannya sehingga jasadnya terbakar. Ibunya menjelaskan bahwa adiknya mempunyai kebiasaan setiap malam pergi dan menempelkan telinganya ke setiap pintu rumah orang untuk mencuri pendengaran lalu ia sebarkan apa-apa yang didengarkannya kepada orang lain, maka itulah sebab jasadnya terbakar.

Begitu besar “kecelakaan” bagi orang-orang yang ghibah, bahkan Hatim al-Zahid menjelaskan bahwa ada tiga perbuatan apabila terdapat dalam suatu majelis taklim maka rahmat Allah akan berpaling dari mereka, yaitu:

  1. Membicarakan soal keduniaan semata;
  2. Tertawa terbahak-bahak (berlebihan);
  3. Ghibah (membicarakan orang lain).

Yahya bin Mu’adz pun memberikan nasihat mulia agar setiap muslim mampu memperbaiki diri dan menjadi insan yang baik dihadapan orang-orang yang beriman, yakni:

  1. Jika engkau tidak dapat memberi keuntungan kepadanya, maka jangan merugikannya (melukainya);
  2. Jika engkau tidak dapat menyenangkannya, maka jangan menyusahkannya;
  3. Jika engkau tidak mampu memujinya, maka jangan mencelanya atau meng-ghibah-nya.

Wallahua’lam.

MENAFIKAN SIFAT BERBANGGA DIRI (AL-TAFAKHUR) DALAM HIDUP

Al-Syaikh Amin al-Kurdi menjelaskan bahwa makna dari kata al-tafakhur adalah “rasa berbangga diri dengan kemulian dan kebajikan, efek dari kemegahan harta, kemulian nasab, dan lain sebagainya”, dan ini adalah sifat yang wajib dinafikan dari setiap pribadi-pribadi muslim, khususnya yang tengah ber-riyadhah dalam ber-takhalli demi mencapai kedekatan diri dengan Allah swt.

Demi menjelaskan betapa buruknya sifat ini, Allah swt menurunkan satu surah secara khusus yang bernama al-Takatsur.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ . حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ . كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ . ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ . كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ . لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ . ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ . ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ .

Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). [QS. Al-Takatsur: 1-8]

Al-Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi dalam Tafsir Juz ‘Amma (h. 508) menerangkan bawah sebab turunnya surah al-Takatsur di atas berkenaan dengan dua kabilah dari kalangan kaum Anshar, yakni bani Haritsah dan bani Harits, di mana mereka saling berbangga diri dan bermegah-megahan pada harta.

Satu kabilah mengatakan; “Adakah di antara kalian orang seperti fulan bin fulan bin fulan?” Kabilah satunya juga membalas seperti itu. Mereka saling berbangga dengan menyebut orang-orang yang masih hidup. Tidak hanya sampai di situ, mereka pula mengajak untuk pergi ke kuburan, lantas salah satu dari dua kabilah itu mengatakan; “Adakah di antara kalian orang seperti fulan bin fulan bin fulan?” Mereka berkata saling menunjuk-nunjuk kuburan tersebut, sedangkan kabilah satunya juga membalas seperti itu, lalu Allah menurunkan surah al-Takatsur sebagai nasihat.

Untuk menafikan sifat berbangga diri (al-tafakhur) ini, Rasulullah Muhammad saw memberikan solusi dengan menguatkan diri untuk senantiasa tawadhu’ (rendah hati dan tidak sombong) dalam hidup, sebagaimana sabdanya:

إِِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ {رواه مسلم، رقم:٢٨٦٥}

Artinya: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku untuk memiliki sifat rendah hati, untuk itu janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” [HR. Muslim, No. Hadits: 2865]

Imam al-Hasan al-Bashri ketika menjelaskan tema al-tawadhu’ (rendah hati), seperti yang termaktub di dalam hadits di atas, mendefinisikan kata tersebut dengan:

أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً

Artinya: “Engkau keluar dari kediamanmu, lantas engkau bertemu dengan seorang muslim, kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.

Sebagai penutup dari pembahasan ini, mari kita renungkan nasihat dari Imam al-Syafi’i, sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (Juz. 6, h. 304):

أرفع الناس قدرا من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا من لا يرى فضله

Artinya: “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya, dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.

Wallahua’lam.

MENAFIKAN CINTA MENCARI PRESTISE DAN MENGEJAR JABATAN DARI DALAM HATI

Sifat cinta mencari prestise dan mengejar kedudukan atau jabatan (حب الجاه والرياسة) merupakan sifat tercela yang keluar dari jalan kebenaran karena tujuannya hanyalah untuk memperoleh popularitas di hadapan orang banyak, kecuali yang dipopulerkan langsung oleh Allah karena mendakwahkan agama-Nya serta tidak muncul rasa cinta untuk mencari prestise pada diri mereka. Nabi Muhammad saw memberikan nasihat yang bermanfaat:

حسب امراء من الشر الا من عصمه الله ان يشير الناس اليه فى دينه ودنياه {رواه البيهقي}

Artinya: “Seseorang cukup telah berbuat  keburukan, kecuali orang yang telah dijaga oleh Allah, dimana dengan mudah ia akan mendapatkan apresiasi oleh manusia, baik dalam urusan agama maupun dunianya.” [HR. Al-Baihaqi]

Terdapat sebuah kisah dimana ketika Abu Yazid al-Busthami menjelaskan tentang ibadah yang telah dikerjakan secara sempurna selama 30 (tiga puluh tahun), lalu ada seseorang yang berkata kepada beliau; “wahai Abu Yazid, sungguh perbendaharannya telah terisi penuh oleh ibadah, maka jika engkau menginginkan untuk sampai pada kualitas itu, hendaknya engkau siap berada dalam status kehinaan dan kefakiran.”

Sifat kehinaan dan serba kekurangan (fakir) adalah lawan dari sifat mencari popularitas dan mengejar jabatan, untuk itulah Allah mewajibkan zakat dan mensunahkan sedekah atas harta yang Allah titipkan kepada kita sebagai jalan menafikan sifat negatif tersebut, bahkan untuk harta yang telah masuk ke dalam perut pun harus turut merasakannya dengan jalan puasa, namun dengan syarat merahasiakan ibadahnya tersebut, dimana hanya dirinya dan Allah semata yang mengetahui. Maka pantaskah popularitas dan jabatan itu dikejar mati-matian oleh seorang yang tengah meniti jalan riyadhah?

Maksud dari penjelasan ini diibiratkan oleh al-Mutawalli ra. dengan keberadaan seseorang yang hendak buang hajat ke dalam toilet, ketika pintunya ditutup maka ia dapat menunaikan hajatnya dan tak ada satupun yang dapat melihat auratnya, namun ketika pintunya terbuka, nampaklah auratnya serta apa yang tengah dikerkajakannya, maka semua orang yang melihatnya pasti akan mencacinya karena dianggap tidak beradab.

Contoh “buang hajat” dalam penjelasan di atas adalah ibarat orang yang tengah mencari popularitas dan mengejar jabatan, semakin ia kejar maka yang nampak di hadapan Allah swt adalah seperti “kotoran hajatnya” saja, namun ketika ia menutup kehedak itu, maka jalan riyadhah-nya menuju Allah swt akan semakin terbuka lebar.

Begitu buruknya sifat ini sehingga ulama harus mengibaratkannya dengan perbuatan “buang hajat”, untuk itulah Allah mengingatkan bahwa yang mampu memberi popularitas dan jabatan hanyalah Allah swt, tidak yang selain-Nya, sebagaimana firman-Nya:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ {آل عمران:٢٦}

Artinya: “Katakanlah; Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS. Ali Imran: 26]

Rasulullah Muhammad saw mengingatkan umatnya:

وعن أَبي هُريرة  أنَّ رسولَ اللَّه ﷺ قَالَ: إنَّكم ستحرِصون عَلَى الإمارةِ وستَكُونُ نَدَامَةً يَوْم القِيامَةِ {رواه البخارى}

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda; sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba mengejar jabatan, padahal kelak di akhirat akan menjadi sebuah penyesalan bagi kalian.” [HR. Al-Bukhari]

Sebagai bahan penutup pada pembahasan ini, penting untuk menjadikan ungkap al-Syathibi di dalam kitabnya al-I’tisham berikut ini sebagai alarm di dalam hati:

آخر الأشياء نزولا من قلوب الصالحين حب السلطة والتصدر

Artinya: “Hal yang paling terakhir luntur dari hati orang-orang shalih adalah cinta akan kekuasaan dan cinta akan popularitas.

Wallahua’lam.

MENGHILANGKAN SIFAT PAMER (RIYA’) DALAM BERAMAL IBADAH

Kata riya’ berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi riya dan memiliki arti – sebagaimana tertuang di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (h. 568) – sombong atau congkak. Amin al-Kurdi memaknai kata riya’ (h. 433) yakni berharap adanya kedudukan dirinya di hati umat manusia karena pamer atas perbuatan baiknya kepada orang-orang tersebut. Allah swt mengingatkan:

…فَمَن كَانَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا {الكهف:١١٠}

Artinya: “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” [QS. Al-Kahfi: 110]

Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Wajiz menjelaskan, bahwa maksud kalimat akhir dalam ayat tersebut adalah, larangan untuk berlaku pamer (riya’) dalam beribadah, karena riya atau pamer termasuk perbuatan yang ada unsur kesyirikan, dan terkategori syirik kecil. Rasulullah Muhammad saw menerangkan:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً {رواه أحمد، رقم:٢٢٥٢٣}

Artinya: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil. Mereka bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Rasulullah saw menjawab; Itu adalah Riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau pamer-pamerkan di dunia lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?” [HR. Ahmad, No. Hadits: 22523]

Disebutkan pula sebuah riwayat oleh Abi Abdillah al-Harits bin Asad al-Muhasibi dalam al-Ri’ayah li Huquqillah (h. 164), di mana Rasulullah Muhammad saw pada suatu hari menangis tersedu dan terlihat oleh Syadad bin Aus, lalu baginda Rasulullah saw pun ditanya olehnya, “apa yang menyebabkan engkau menangis tersedu wahai Rasulullah saw?“, beliau menjawab; “ada hal yang aku takutkan menimpa umatku, yakni kesyirikan, namun mereka tidak menyembah patung, tidak pula matahari, bulan, batu, maupun berhala, akan tetapi mereka berlaku riya atau pamer terhadap perbuatan dan ibadah mereka, maka sungguh yang aku takutkan terjadi atas mereka adalah perbuatan riya atau pamer“.

Syaikh Amin al-Kurdi menjelaskan, bahwa seseorang yang dalam proses takhalli dari sifat riya atau pamer ini, maka ia harus menemui seorang Guru yang mumpuni dari segi ilmu, amal, dan batinnya, untuk menafikan pilihannya dalam petunjuk Gurunya, sehingga ia dapat menapaki jalan batiniah dengan sempurna dan sampai kehadirat Allah swt. Adapun mereka yang tidak mengarungi jalan tersebut, maka ia tidak akan mampu menyelam ke dalam telaga ihsan yang menyimpan permata “beribadah kepada Allah seolah tengah memandangNya“.

Seseorang yang beramal ibadah dengan sifat riya’ atau pamer tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali lelahnya semata, dan hal ini telah diingatkan oleh Rasulullah Muhammad saw, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Thabari secara mursal:

لا يقبل الله عملا فيه مثقال حبة من خردل من رياء

Artinya: “Tidak diterima sesuatu ibadah jika terdapat riya’ atau pamer dalam dirinya walaupun hanya seberat biji sawi.

Ketika menjelaskan hadits di atas, Amin al-Kurdi membagi sifat riya atau pamer pada dua dimensi; (1) riya dalam dimensi absolut, di mana seseorang beramal untuk akhirat namun kemanfaatannya eksis di dunia; (2) riya dalam dimensi negatif karena melakukan kombinasi yang tidak sepadan, di mana seseorang beramal dengan pengharapan kemanfaatan di dunia dan di akhirat secara bersama, namun pahala pun tak didapatkannya, na’udzu billahi min dzalik.

Untuk mendeteksi apakah seseorang memiliki sifat riya atau pamer di dalam hatinya atau tidak, Sayyidina Ali bin Abi Thalib memberikan petunjuk, sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin, di mana ada 3 (tiga) tanda bagi orang yang memiliki sifat riya atau pamer, yakni:

يَكْسَـلُ إذَا كَانَ وَحْدَهُ، وَيَنْشَـطُ إذَا كَانَ فِي النَّاسِ، وَيَزِيدُ فِي الْعَمَلِ إذَا أُثْنِيَ عَلَيْهِ وَيَنْقُصُ إذَا ذُمَّ

Artinya: “(1) Malas (dalam beribadah) ketika sendiri; (2) rajin saat di tengah banyak orang; (3) serta amalnya meningkat kala dipuji namun menurun kala dicaci.”

Sebuah amal yang dihinggapi riya atau pamer seringkali mempertimbangkan bagaimana orang lain memberi tanggapan. Ia lahir bukan dari ketulusan lillahi ta’ala, melainkan terdapat campuran keinginan mendapat citra positif di mata manusia. Akibatnya, fluktuasi amal kebaikan berlangsung naik-turun seiring dengan besar-kecilnya potensi “keuntungan” penilaian dari manusia. Wallahua’lam.

MELENGSERKAN SIFAT KIKIR (BAKHIL) DARI DALAM HATI

Secera etimologi kata bakhil memiliki arti menahan sesuatu, dan dalam konteks harta dimaknai dengan terlampau hemat sehingga menjadi kikir. Adapun makna bakhil secara terminologi menurut Amin Al-Kurdi (h. 432) adalah, keengganan untuk berbagi dengan orang lain karena ditakutkan hartanya akan berkurang. Allah swt memperingatkan:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ…{آل عمران:١٨٠}

Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kekikiran itu baik bagi mereka. Sebenarnya kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat…” [QS. Ali Imran: 180]

Berdasar pada ayat di atas, Rasulullah Muhammad saw memberikan penegasan:

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ {رواه مسلم، رقم: ٤٦٧٥}

Artinya: “Hindarilah kezhaliman, karena kezhaliman itu mendatangkan kegelapan pada hari kiamat! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) generasi sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan Allah swt.” [HR. Muslim, No. Hadits: 4675]

Pada hadits lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi disebutkan:

السَّخِيُّ قَرِيبٌ مِنْ اللهِ قَرِيبٌ مِنْ الْجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنْ النَّاسِ بَعِيدٌ مِنْ النَّارِ وَالْبَخِيلُ بَعِيدٌ مِنْ اللهِ بَعِيدٌ مِنْ الْجَنَّةِ بَعِيدٌ مِنْ النَّاسِ قَرِيبٌ مِنْ النَّارِ وَلَجَاهِلٌ سَخِيٌّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ عَالِمٍ بَخِيلٍ {رواه الترمذى، رقم: ١٨٨٤}

Artinya: “Orang yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari menusia, dan dekat dengan neraka. Sesungguhnya orang bodoh namun dermawan lebih dicitai oleh Allah swt dari pada orang yang ‘alim (berilmu) namun kikir.” [HR. Al-Tirmidzi, No. Hadits: 1884]

Amin al-Kurdi (h. 432) mengutip sebuah riwayat yang pernah disampaikan oleh al-Ashfahani secara marfu’:

ألا إن كل جواد فى الجنة حتم على الله وأنا به كفيل، ألا وإن كل بخيل فى النار حتم على الله وأنا به كفيل. قالوا : يارسول الله من الجواد ومن البخيل؟ قال : الجواد من جاد بحقوق الله فى ماله، والبخيل من منع حقوق الله وبخل على ربه، وليس الجواد من أخذ حراما وأنفق إسرافا

Artinya: “Ketahuilah bahwa mereka yang murah hati (dermawan) keberadaannya ada di dalam surga dimana Allah dan aku (Muhammad saw) sebagai jaminannya, dan ketahui pula bahwa mereka yang berlaku kikir posisinya ada di dalam neraka dimana Allah dan aku (Muhammad saw) sebagai jaminannya. Lalu para sahabat bertanya; siapakah yang dimaksud sebagai orang yang dermawan dan orang yang kikir? Rasulullah saw menjawab; dermawan adalah seseorang yang telah secara sukarela menunaikan hak-hak Allah pada hartanya, sedang kikir adalah seseorang yang enggan menunaikan hak-hak Allah lalu ia kikir dengan Tuhannya. Namun bukanlah disebut dermawan orang yang suka berderma dengan harta haram dan berinfak secara berlebih-lebihan.

Dalam menjelaskan kata ishraf (berlebih-lebihan) pada akhir hadits di atas, Amin al-Kurdi mengutip keterangan dari al-Syaikh Muhyiddin Ibn al-‘Arabi rahimahullah, yakni “tujuannya (berderma) adalah untuk mendapatkan penghormatan dari orang lain, bahkan lebih dari itu, dengan kuantitas harta yang dikeluarkannya melebihi batas dan hitungan yang normal”.

Mengenai masalah kikir ini, al-Habib Zein bin Smith dalam kitabnya al-Fawaid ak-Mukhtarah li Salik Thariq al-Akhirah (h. 176) menceritakan, bahwa pada suatu hari ada seseorang yang tabiatnya kikir sedang berada di dalam rumah bersama istrinya duduk berdua menikmati hidangan yang ada di meja makan. Laki-laki bakhil itu siap menyantap ayam yang tersaji di depannya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Ternyata ketukan itu berasal dari peminta-minta yang menginginkan sedekah dari penghuni rumah.

Sang istri lalu berujar kepada suaminya yang kikir itu, “tidakkah sebaiknya kita berbagi makanan dengan peminta-minta itu?” tanya sang istri. “Tidak usah, sebaiknya kamu temui peminta-minta itu dan suruh dia pergi” perintah si kikir. Sang istri tak dapat menolak permintaan suaminya dan meminta kepada orang yang meminta-minta tersebut untuk pergi.

Hari demi hari berlalu. Roda kehidupan berputar begitu cepat, dan laki-laki kikir itu kini hidup dalam serba kekurangan, sehingga istrinya pun diceraikannya. Singkat cerita, mantan istrinya itu lalu menikah dengan laki-laki lain dan kehidupannya bahagia lagi harmonis.

Suatu ketika si mantan istri dan suami barunya duduk berdua menikmati hidangan yang ada di meja makan. Suami barunya itu siap untuk menyantap ayam yang tersaji di depannya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Ternyata ketukan itu berasal dari peminta-minta yang menginginkan sedekah dari penghuni rumah.

Si suami baru tadi lantas memerintahkan sang istri untuk berbagi makanan dengan pengemis yang ada di depan rumahnya. Diantarkanlah makanan untuk si pengemis tadi. Namun kejadian aneh terjadi, sang istri yang kembali ke meja makan setelah memberi makan pengemis tadi tiba-tiba menangis tersedu-sedu.

Melihat hal itu lalu suaminya bertanya; “wahai istriku, mengapa kau menangis? Apakah kau menyesali sedekah tadi?” Istrinya menjawab; “Tidak, aku sama sekali tak menyesali itu. Aku menangisi kejadian luar biasa yang baru saja kutemui.” “Wahai suamiku, tahukah kau siapa pengemis yang baru saja kuberikan makanan?” tanya sang istri.

Tidak“, jawab suaminya singkat, namun masih keheranan melihat tangisan sang istri. “Pengemis tadi adalah mantan suamiku“, jelas sang istri. Mendengar penjelasan istrinya yang demikian, sang suami sedikit terkejut, tetapi segera balik bertanya, “Lalu, tahukah kau siapa aku yang sekarang menjadi suamimu kini? Aku adalah pengemis yang pernah diusir dari rumah suami pertamamu.” Kini tangisan sang istri semakin menjadi-jadi.

Begitulah kira-kira kisah tragis orang bakhil yang mungkin bisa kita ambil pelajaran, semoga saja gambaran kecil itu menjadi pelajaran dalam membangun pribadi yang anti kikir, sembari terus berdoa seperti doa Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

Artinya: “Wahai Allah, sungguh aku berlindung pada-Mu dari sifat bingung dan sedih, aku berlindung pada-Mu dari rasa lemah dan malas, aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari belitan hutang dan keganasan manusia.

Wallahua’lam.

MENGHILANGKAN SIFAT MEMBANGGAKAN DIRI (AL-‘UJUB) DARI DALAM HATI

Sifat ujub atau membanggakan diri sendiri termasuk sifat tercela yang wajib disingkirkan dari dalam hati sebagai bentuk at-takhalli. Secara terminologi, kata ujub dimaknai sebagai rasa bangga diri (besar kepala) yang pengaruhnya sampai ke dalam hati akibat imajinasi kesempurnaan ilmu atau perbuatan pada dirinya.

Imam al-Ghazali juga memberikan perspektif atas terminologi ujub, yakni:

استعظام النعمة والركون إليها مع نسيان إضافتها إلى الله تعالى

Artinya: “Ujub yakni menganggap sempurna nikmat yang ada pada dirinya lalu merasa nyaman atas nikmat tersebut, sementara itu dia lupa untuk menyandarkannya kepada Allah swt (Tuhan yang telah memberikan karunia atau kenikmatan tersebut kepadanya).”

Mengenai hal ini, Rasulullah Muhammad saw secara tegas memperingatkan:

ثلاث مهلكات: شح مطاع، و هوى متبع، و إعجاب المرء بنفسه {رواه الطبرانى والبزار والبيهقى}

Artinya: “Ada tiga perkara yg akan membinasakan seseorang, (yaitu): sifat kikir yang senantiasa ditaati, hawa nafsu yang selalu diikuti, dan seseorang yang merasa bangga terhadap dirinya sendiri.” [HR. al-Thabrani, al-Bazzar, dan al-Baihaqi]

Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Hilyah al-Auliya’ (Juz II, h. 200) menceritakan, bahwa al-Mutharrif bin Abdulllah pernah membuat statemen;

لأن أبيت نائما وأصبح نادما أحب إلي من أن أبيت قائما وأصبح معجبا

Artinya: “Seseorang yang tidur terlelap (semalam suntuk) lalu ia terbangun dengan penyesalan akan dosanya, lebih aku sukai, dari pada seseorang yang melakukan shalat tahajud (qiyam al-lail) semalam penuh, namum ketika pagi hari, muncul perasaan ujub (bangga diri) di dalam hatinya atas ibadahnya tersebut.”

Wuhaib bin al-Ward dalam kitab al-Tawwabin (h. 121) karya Ibnu Qudamah pernah mendapat cerita menarik mengenai masalah ujub. Dikisahkan bahwa suatu hari Nabi Isa as. sedang melakukan perjalanan dengan salah satu sahabat dekat serta pejuang dakwahnya (al-hawariyyu), lalu keduanya melihat seorang pencuri di atas benteng, ketika pencuri itu melihat Nabi Isa as. dan sahabatnya, rupanya Allah memasukkan ke dalam hatinya kesadaran untuk berubah menjadi manusia yang baik.

Setelah terjadi perdebatan di dalam hatinya apakah akan melanjutkan untuk mencuri ataukah bertaubat akan kesalahannya, ia pun akhirnya mengambil jalan taubat dan turun untuk menemui keduanya sebagai bentuk pertaubatannya. Ketika hendak mendekat kepada keduanya, hati kecilnya berkata; “benarkah bahwa engkau hendak berjalan bersama mereka berdua? sungguh tidak pantas, pencuri sepertimu lebih pantas berjalan di belakangnya bukan di samping mereka”.

Pencuri itu akhirnya mengambil keputusan untuk berjalan mengikuti Nabi Isa as. dan sahabatnya dari belakang, namun secara tidak sengaja aksinya ini dilihat oleh sahabat Nabi Isa as. Ia tersadar ternyata sejak tadi mereka telah diikuti oleh seorang pendosa (pencuri). Dalam kondisi demikian, dia membatin dengan nada meremehkan; “Ih…! lihat ini seorang pendosa sedang berjalan di belakang kita.”

Allah mengetahui semua yang bergejolak dalam hati seorang pencuri yang hendak bertaubat dan menyesali semua perbuatannya, maupun hati sahabat Nabi Isa as. yang merasa lebih unggul dan meremehkannya. Akhirnya Nabi Isa as. mendapat wahyu dari Allah swt yang menjelaskan bahwa pencuri yang hendak bertaubat tersebut telah diampuni dosa-dosanya karena penyesalan dan kesungguhannya untuk bertaubat. Sementara sahabatnya, amal baiknya menjadi gugur karena ujub terhadap dirinya sendiri, dan meremehkan pencuri tadi yang sedang menjalani pertaubatan.

Penjelasan dan kisah di atas menjadi pelajaran (ibrah) betapa sifat ujub mampu membakar habis amal baik yang telah dikerjakan, apalagi jika sifat ujub atau bangga atas dirinya itu hadir dalam ibadah dan amal baiknya, seperti berbagi dengan orang lain namun harus siaran langsung (live) di media sosialnya atau di foto (selfie) di video kan demi sebuah pujian dan konten semata, wal ‘iyadzu billah.

Wallahua’lam