A. Qawa’idul Ushuliyah dan Fiqhiyah.
Kata qawa’idul Ushuliyah dan fiqhiyah terdiri dari kata qawa’id, ushuliyah dan fiqhiyah. Qawa’id merupakan jamak dari qa’idah yang menurut bahasa bermakna dasar atau asas . Sedangkan pengertian qawa’id secara epistemologi dapat kita lihat dari berbagai pernyataan para ulama :
1. Al-Mahalli :
قضية كلية يتعرف منها احكام جزئياتها
Artinya : “Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.”
2. As-Subki :
الامر الكلي الذي ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Artinya : “ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.”
3. Musthafa Ahmad bin Zarqa :
اصول فقهية كلية في نصوص موجزة دستورية تضمن احكاما تشر يعية عامة في الحوادث
التي تدخل تحت موضوعها
Artinya : “Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat dan padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa yang dapat dimaksudkan pada permasalahannya.”
4. Musthafa Az-Zarqa yang disadur oleh Dr. Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy :
حكم اغلبي ينطبق على معظم جزئياته
Artinya : “Hukum yang bersifat aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar lainnya.”
B. Kaidah Ushuliyah.
Kata ushul berasal dari kata اصل yang artinya :
ما بني عليه غيره
“Sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain”
Selian itu juga ushul diartikan sebagai sumber atau dasar. Asal adalah sesuata yang menjadi dasar (sendi) oleh sesuatu yang lain, sedangkan furu’ adalah sesuatu yang diletakkan di atas asal tadi. Seperti sebuah rumah yang terletak di atas sendi atau fondasi, maka sendi dinamakan asal, dan rumah yang terletak di atasnya dinamakan furu’.
Asal menurut istilah dipakai dalam lima pengertian :
1. Kaidah Kulliyah (peratutan umum).
2. Rajih (terkuat).
3. Mustashhab.
4. Maqis ‘alaih (tempat mengkiaskan).
5. Dalil (alasan).
Rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Ashal berarti Kaidah Kulliyah (peratutan umum).
Peraturan umum dalam hal ini adalah melaksanakan ketentuan oleh syara’ kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti memakan mayat, darah, dan dnging babi dalam keadaan terpaksa. Sedangkan hukum asal dari pada memakan mayat, darah, dan daging babi itu adalah haram. Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ …{المائدة : 3}
Artinya : “Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi… ” (Al-Maidah 3).
2. Ashal berarti Rajih (terkuat).
Maksud rajih adalah asal dari pada perkataan ialah hakikatnya, yakni yang kuat atau yang rajih dalam menetapkat, pengertian sesuatu perkataan ialah makna hakikatnya, bukan makna majaznya.
Seperti pada hadist nabi yang berbunyi :
لا تبيع الصاع بالصاعين
“Janganlah menjual satu takar dengan dua takar”.
Lafadh الصاع yang arti hakikinya adalah suatu wadah untuk menakar, dalam hadist ini diartikan secara majazi yaitu barang-barang yang diperjualbelikan dengan ditakar.
3. Ashal berarti Mustashhab.
Mustashhab adalah :
الاصل بقاء ماكان على ماكان
” Tetap apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.
Maksud dari kaidah di atas adalah menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada. Seperti yakin berwudhu, ragu dalam berhadas, tetap seorang itu dalam keadaan suci.
4. Ashal berarti Maqis ‘alaih (tempat mengkiaskan).
Seperti keharaman mengambil riba pada padi didasarkan pada adanya keharaman mengambil riba pada gandum. Hukum asal dari pengharaman mengambil riba pada padi diqiyaskan kepada dalil yang melarang pengharaman riba pada gandum, berdasarkan ‘illat bahwa gandum dan padi merupakan makanan pokok bagi manusia. Gandum adalah ashal dan padi adalah furu’.
5. Ashal berarti dalil (alasan).
Maksudnya ashal hukum sesuatu karena dalilnya. Allah berfirman :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ … {البقرة : 43}
“Dirikanlah shalat, keluarkanlah zakat…” (Al-Baqarah: 43).
Dalil di atas menunjukkan perintah tentang menunaikan sholat dan zakat, sedangkan tentang pengertian bahwa shalat dan zakat itu diwajibkan diambil dari kaidah ushuliyah yaitu :
الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل غيره إلا بقر ينة
“Ashal dari pada amar (perintah) itu adalah wajib dan tidak menunjukkan arti selain wajib kecuali terdapat qarinahnya”.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah adalah peraturan-peraturan yang menjadi standar atau dasar untuk menetapkan suatu hukum yang di tinjau dari sudut kebahasaan.
C. Kaidah Fiqhiyah.
Kata fiqhiyah diambil dari kata “figh” yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna “ilmu” sebagaimana firman Allah SWT :
… لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ … {التوبة : 122}
“…Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…” (QS. At-Taubah : 122)
Sedangkan dalam arti isitilah, fiqh berarti :
1. Menurut Al-Jurjani al-Hanafi :
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili dan diistinbathkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan”.
2. Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah Al-Mubtada’ wal Khabar :
“ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan mukallaf (diistinbathkan,) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara’, bila dikeluarkan dengan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yang dinamakan fiqh”.
Dari definisi-definisi di atas, baik mengenai gawaid maupun fighiyah maka yang dimaksud dengan “qawaidul fiyhiyah” Menurut Prof. Dr. T.M. Hasbi As-Shiddieqy adalah :
“Dikehendaki dengan qaidah fiqh ialah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil kulli dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf dibawah beban taklif dan dari memahamkan rahasia–rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa qawaidul fiqhiyah adalah kaidah-kaidah atau pokok-pokok fiqh yang bersifat kulli dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas yang mencakup hukum-hukum yang disyariatkan secara umum yang dipetik dari dalil-dalil kulli (yaitu ayat dan hadits yang menjadi pokok kaidah yang dapat disesuaikan dengan herbagai juziyah) dan dari maksud maksud syara’ menetapkan hukum pada mukallaf serta dari memahamkan rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.
D. Perbedaan Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah.
1. Kaidah Ushuliyah.
Kaidah-kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah. Disebut kaidah istimbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil¬dalilnya yang terinci. Disebut kaidah lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna, susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa arab, setelah diadak an penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab.
Kaidah-kaidah ushuliyah digunakan untuk memahami nash-nash syari’ah dan hukum-hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut. Dengan kaidah ushuliyah dapat difahami hukum-hukum yang telah diistinbathkan oleh para imam mujtahidin, serta dapat pula dipertimbangkan antara mazhab mereka yang berbeda mengenai hukum suatu kejadian. Karena memahami hukum menurut seginya atau mempertimbangkan antara dua hukum yang berbeda tidak bisa terjadi kecuali dengan memakai ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.
2. Kaidah Fiqhiyah
Kaidah fiqhiyah adalah kiadah hukum yang bersifat kulliyah (bersifat umum) yang dipetik dan dalil-dalil kulli, dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah beban dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasri’ dan hikmah-hikmahnya. Rahasia tasyri’ adalah ilmu yang menerangkan bahwa syara’ memperhatikan pelaksanaan hukum bagi mukallaf, kemaslahatan hamba, dan menerangkan bahwa tujuan menetapkan aturan-aturan ialah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kaidah-kaidah fiqhiyah dijadikan rujukan (tempat kembali) seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syaria’t dalam ucapan dan perbuatanya. Karena aturan-aturan syara’ itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbua tan dan ucapan manusia. Selain itu juga kaidah fiqhiyah digunakan untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan ataupun yang diharamkan baginya.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan rahasia¬rahasia tasyri’. Namun kedua kaidah tersebut merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan, dalam sasarannya menetapkan hukun Islam terhadap mukallaf. Sebagai contoh :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ …{المائدة : 3}
Artinya : “Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi… ” (Al-Maidah 3).
Kata hurrimat pada ayat di atas menunjukkan tentang keharaman memakan bangkai, darah, daging babi. Dalam kaidah ushuliyah disebutkan bahwa :
الاصل فى النهي للتحر يم
“asal pada larangan adalah haram”.
Mengenai hal ini kaidah fiqhiyah menjelaskan :
الحر يم له حكم ما هو حر يم له
“Yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilinginya “.
Kaitan kaidah fiqh di atas dengan kaidah sebelumnya adalah sebagaimana diharamkan memakan bangkai, darah, daging babi, maka diharamkan pula untuk memperjulbelikannya, atau memanfaatkannya. Apabila bangkai, darah, dan daging babi tersebut diperjualbelikan, maka harga dari jual beli tersebut haram hukumnya. Begitu juga apabila gemuk bangkai dijadikan minyak lalu minyak itu dijual kepada orang lain, maka jual beli tersebut menjadi haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada kaidah fiqih di atas bahwa pada hakikatnya yang dikelilingi adalah keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, sedangkan yang mengelilinginya adalah menjual dan memanfaatkannya, hal ini diharamkan karena hukum asalnya adalah haram.
E. 5 (Lima) Contoh dan Uraiannya.
1. Kaidah Ushuliyah :
a. Kaidah-kaidah Amar dan Nahi.
1) Amr :
Amr adalah satu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan sesuatu perbuatan.
Salah satu contoh adalah kaidah yang berkaitan dengan amar :
الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل على غيره إلا بقر ينة
“Pada ashalnya amar itu menunjukkan arti wajib dan tidak menunjukkan kepada arti selain wajib kecuali terdapat qarinahnya “.
Contohnya firman Allah QS. Al-Baqarah : 43 ;
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ…{البقرة : 43}
“Kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat…”
Lafadz اقيموا dan آتوا dalam ayat tersebut, berbentuk fi’il amar atau suatu kata kerja yang berupa perintah yang datang dengan shighat perintah secara muthlak, dan telah menunjukkan atas kewajiban mengerjalcannya. Apabila syar’i telah memerintahkan pekerjaan dan terdapat petunjuk atau qarinah yang menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib, maka hal itu adalah wajib, baik dan shighat itu sendiri atau hal yang bersifat dari luar.
2) Nahi :
Nahi artinya larangan, cegahan menurut istilah agama adalah tuntutan untuk meningglakan dari atasan kepada bawahan. Dalam masalah ini terdapat beberapa peraturan yang berhubungan dengan larangan. Contohnya :
الاصل فى النهي للتحر يم
“asal dari pada larangan yaitu haram “.
Berdasarkan kepada pemikiran, bahwa tiap-tiap masalah yang sunyi dari pada qarinah yang menunjukkan kepada larangan rnengandung arti yang hakiki yaitu haram. Sebagaimana Allah berfirman :
وَ لاَ تَقْرَ بُوْا الزِّ نَى …
“Dan jangnlah kamu dekati zina”.
Dalam ayat ini terdapat bentuk kalimat yang sunyi dari qarinah, dan menunjukkan kepada hakikat larangan yang mutlak.
b. Kaidah-kaidah ‘Am dan Khos.
1) ‘Am :
‘Am adalah lafaz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas, boleh dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. 43 seperti kata “Ar-Rijal”,maka lafaz ini meliputi semua yang laki-laki. ‘Am itu menunjukkan atas tercakupnya semua satuan dan seluruh satuan-satuannya.
2) Khos :
Khos adalah lafal yang diciptakan untuk memberikan pengertian pada satuan-sartuan yang tertentu. Berbicara mengenai khos maka tidak akan lepas dari Takhsis dan Mukhassis. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian lafaz yang berada dalam lingkungan untum menurut hinggaan yang tidak ditentukan. Sedangkan Mukhassis ialah suatu dalil atau alasan yang menjadi alasan adanya pengeluaran tersebut.
Contohnya adalah, terdapatnya istisna’ dalam QS. Al-Ashr : 1-3 ;
وَالْعَصْرِ{1}إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ{2}إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ{3}
Artinya : “Demi masa.(1)Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,(2)kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(3)”.
c. Kaidah-kaidah Muthlaq dan Muqayyad.
1) Muthlaq :
Muthlaq adalah lafal yang menunjukkan satuan yang tidak dibatasi oleh satuan batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Lafal muthlak digunakan sesuai dengan kemuthlakannya, seperti Wa Ummahatu Nisaikum (dan ibu-ibu dari istri-istrimu), yaitu ibu mertua tidak boleh dicampuri baik istrinya belum dicampuri ataupun sudah.
2) Muqayyad :
Muqayyad adalah lafal yang dapat mempersempit keluasan arti, atau lafal muthlak yang telah ditentukan batasannya maka ia menjadi muqayyad. Seperti ketentuan wasiat dalam surat An-Nisa’ ayat 11 masih bersifat muthlaq tanpa adanya batasan berapa jumlah yang akan dikeluarkan, kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya dengan hadist nabi yang menyatakan bahwa wasiat itu sepertiga dari harta yang ada.
Lafal muqayyad jika dihadapkan dalil lain yang menghapus kemuqayyadannya maka ia menjadi mutlak, seperti keharaman menikahi anak tiri karena anak tiri itu dalam pemeliharaan dan ibunya sudah dicampuri. Keharaman nikah dengan anak tiri sudah dibatasi dengan dua hal di atas, namun apabila ayah tiri belum mencampuri ibunya, maka anak tiri boleh dinikahi. Dengan demikian batasan diatas menjadi muthlak kembali (An-Nisa’ : 23).
d. Kaidah-kaidah Mujmal dan Mubayyin.
1) Mujmal :
Mujmal adalah lafal yang mengandung sejumlah keadaan atau hukum yang tercakup di dalamnya dan tidak dapat diketahui penjelasannya tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, Atau suatu lafal yang di dalamnya terdapat dua visi. Seperti lafal A1-Qari’ah pada surat Al-Qari’ah menurut bahasa berarti pengetuk, tetapi oleh syari’ lafaz tersebut diartikan dengan arti khusus yaitu hari kiamat, sebagaimana ditafsirkan oleh syari’ sendiri pada rangkaian kalimat berikutnya.
2) Mubayyin :
Mubayyin adalah lafaz-lafaz yang menerangkan atau menjelaskan lafal yang Mujmal, dan penjelasan itu dapat dibagi kepada :
Penjelasan berupa perkataan.
Misalnya denda haji tamattu yakni puasa 10 hari, 3 hari di tanah suci dan selebihnya di rumah (Al-Baqarah : 196)
Penjelasan berupa perbuatan.
Seperti Kaifiyah sholat dan haji, meniru kaifiyah sholat dan haji Rasulullah.
Penjelasan dengan tulisan.
Misalnya surat Abu bakar yang dikirim kepada Anas, panitia zakat didaerah bashrah yang berisikan penjelasan Rasulullah tentang macam¬-macam dan nisab binatang ternak yang wajib dizakatkan.
Penjelasan dengan isyarat.
Seperti tindakan Rasulullah memegang kain sutra di tangan kanannya dan memegang emas di tangan kirinya. Lalu bersabda “sesungguhnya dua macam ini adalah haram bagi orang laki-laki dari ummatku.” Kata dua macam ini adalah mujmal atau belum jelas apa yang dimaksudkan dari kata itu, dan yang menjadi bayan dalam hal ini adalah keadaan Rasulullah yang sedang memegang kain sutra dan emas, sehingga maksud dari perkataan itu adalah kain sutra dan emas.
Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan setelah beberapa kali dikerjakan.
Misalnya Rasulullah pernah menjalankan berqunut selama satu bulan lamanya untuk mendo’akan suatu qabilah arab yang masih hidup, dan akhirnya beliau tidak menjalankan lagi, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Penjelasan dengan diam sesudah adanya pertanyaan.
Misalnya ketika Rasulullah menerangkan tentang kewajiban haji dimuka umum, lalu ada salah seorang sahabat bertanya kepada beliau, apakah kewajiban haji itu tiap-tiap tahun. Beliau diam tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Diamnya Rasulullah itu menjadi bayan bahwa kewajiban haji itu tidak untuk setiap tahun.
Penjelasan dengan macam-macam takhsis sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya.
e. Kaidah-kaidah Muradif dan Musytarak.
1) Muradif :
Muradif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna, seperti Al-¬Asad yang berarti singa dan Al-Hinthatu yang berarti biji gandum.
2) Musytarak :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ
وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ{18}
Artinya : ” Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al-hajj : 18)”.
Makna sujud mempunyai dua arti yaitu bersujud dengan mengarahkan wajah pada tanah atupun bersujud berarti kepatuhan. Kiranya kedua makna itu diperbolehkan, yakni adanya ketundukan bagi apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, dan sebagainya. Dan penggunaan maksud sujud dengan menghadapkan wajah pada tanah bagi sebagian orang-orang yang taat. Dengan kata lain penggunaan lafaz musytarak itu diperbolehkan sesuai dengan proporsinya.
2. Kaidah Fiqhiyah :
Dalam hal ini yang dijadikan contoh adalah kaidah asasiah yang merupakan 5 (panca kaidah) yang digali dari sumber-sumber , baik dari Al-Qu’an dan As-Sunnah maupun dalil-dalil Istinbath, karena itu setiap kaidah didasarkan pada nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar fiqh.
a. Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan.
Teks Kaidah :
الأمور بمقاصدها
“Segala urusan tergantung kepada tujuannya”.
Hal ini didasarkan pada nash :
Firman Allah SWT :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …{البينة : 5}
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya agama yang lurus …”
Sabda Nabi SAW :
انما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh :
Mandi dan wudhu yang disertakan dengan niat beribadah berbeda dengan mandi dan mencuci muka yang menurut kebiasaan untuk membersihkan badan atau muka.
Menyerahkan harta kepada fakir miskin iika tidak dibarengi dengan niat zakat, sedekah atau tebusan sumpah yang dilanggar maka itu merupakan sumbangan social.
Adapun kaidah yang Berkenaan Dengan Niat adalah :
مالا يشترط التعرض له جعلة وتفصيلا إذا عينه واخطأ لم يضر
“Sesungguhnya (amalan) yang tidak diisyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun tafshili, apabila kemudian dipastikan dan ternyata salah maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan).”
Misalnya dalam shalat tidak diisyaratkan niat menetukan bilangan rakaat, udian musholli niat shalat maghrib dengan 4 rakaat dan pelaksanaannya tetap aat maka shalatnya tetap sah.
b. Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan.
Teks Kaidah :
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Dasar Kaidahnya adalah, sabda Nabi Muhammad saw :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ
حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا {روه مسلم}
Artinya : “Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluart dari mesjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.”
Misalnya ada dua orang yang mengadakan utang piutang, dan keduanya berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum, sedang pemberi utang bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah pemberi utang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin menurut kaidah diatas. Dan hal itu dapat berubah jika yang utang dapat rnemberikan bukti – bukti baru atas pelunasan utangnya.
c. Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan.
Teks kaidahnya :
المشقة تجلب التيسير
“Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :
الدِّينُ يُسْرٌ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ {روه البخارى}
” Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah “.
Allah SWT memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagani syari’ah demi kemaslahatan mausia itu sendiri. Syari’ah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ ah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Allah SWT. Berfirman, “Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan”.
d. Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan.
Kaidahnya :
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع الامر ضاق
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”.
Misalnya, pada dasarnya seorang saksi adalah laki-laki yang terpercaya, namun bita tiada laki-laki sama sekali maka boleh digantikan pada wanita. Contoh lain, Misalnya seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
e. Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan.
العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”.
Contohnya : hukum syari’ah menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan pada kebiasaan.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.