BANK AIR SUSU IBU (ASI)

A. Pendahuluan.

Akibat dari gerakan emansipasi wanita yang muncul di Eropa dan Amerika Serikat yang menuntut kesamaan hak antara pria dan wanita dalam seluruh lapangan kehidupan, para wanita di Eropa dan Amerika Serikat sering keluar rumah, sehingga anak-anak mereka, termasuk yang masih balita, harus diting­galkan dengan para pengasuhnya. Di sisi lain, para ibu menyadari sepenuhnya manfaat dan keunggulan air susu ibu (ASI) yang kadar gizi dan energinya jauh lebih baik di banding susu buatan, sementara para ibu tidak bisa menyusui bayi mereka, baik karena kesibukan maupun untuk memelihara kebugaran payudaranya. Oleh sebab itu, para ilmuwan di Eropa dan Amerika Serikat mengantisipasi keadaan ini dengan mendirikan Bank Air Susu Ibu, sehingga para ibu yang mengkhawatirkan bayi-bayi mereka tidak bisa meminum ASI bisa diatasi. Dengan demikian, Bank Air Susu Ibu dimaksudkan sebagai sebuah lembaga untuk menghimpun susu murni dari para donatur untuk memenuhi kebutuhan air susu anak-anak yang tidak mendapatkan air susu dari ibunya. Lembaga ini telah berkembang sampai ke Asia, termasuk di antaranya adalah Asia Tenggara.

Permasalahan tentang bank ASI menjadi menarik untuk dikaji adalah, karena pada dasawarsa terakhir juga di Indonesia ada penggalakkan tentang penggunaan Air Susu Ibu (ASI). Pemerintah dalam hal ini, adalah Departemen Kesehatan RI sangat gigih mempromosikan penggunaan ASI. “Promosi yang dilakukan dengan berbagai cara dan menggunakan berbagai media, baik media cetak maupun elektronik, itu bertujuan untuk memotivasi para ibu agar memberikan ASI kepada bayi-bayi mereka, serta hubungan kasih sayang antara ibu dan anak akan lebih terbina”[1].

Gencarnya promosi penggunaan ASI dan yang disertai dengan penjelasan manfaat dan kegunaannya yang sangat besar bagi anak-anak dan ibu yang mempunyai anak. Namun bagi para ibu yang sibuk, apalagi bagi wanita karier, pemberian ASI langsung dari dirinya sendiri menimbulkan masalah tersendiri. Bukan saja karena waktu yang banyak tersita dan merugikan bisnis mereka, tetapi juga “mempengaruhi keindahan tubuh mereka yang selama ini selalu diperhatikan dan dijaga sebaik mungkin agar mereka tetap tampil prima, menarik dan penuh simpatik”[2].

Dilema antara keinginan para ibu yang menyusui anaknya demi pertumbuhan dan perkembangan anak dan kesibukan serta keinginan untuk tetap memiliki bentuk tubuh yang indah tersebut tidak mustahil akan me-nimbulkan berbagai masalah yang menyangkut pemberian ASI. Apabila kebutuhan akan ASI semakin meningkat, maka tidak mustahil akan muncul lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan yang menyediakan wanita untuk menyusui bayi. Di samping itu dalam perkembangan selanjutnya, di saat ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, mungkin saja ada bank ASI. Bukankah tidak mustahil jika air susu wanita itu diolah secara mekanis, dikalengkan dan dijual bebas. Jika hal ini terjadi, banyak bayi-bayi yang menyusui (meminum) susu tersebut, ini akan menimbulkan masalah tersendiri dalam hukum Islam, sebab anak yang menyusui dari seseorang atau beberapa orang wanita mempunyai hubungan dan keterkaitan dengan pemilik air susu itu, berikut keluarganya.

Hubungan atau keterkaitan yang dimaksud adalah hubungan hukum antara anak dan ibu (wanita) yang memberikan air susunya dalam hukum Islam, salah satu faktor yang dapat menyebabkan terhalangnya perkawinan, antara laki-laki dan perempuan adalah faktor persusuan. Anak yang lahir secara prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam waktu yang cukup lama, sehingga air susu ibunya berlimpah-limpah. Dalam pertumbuhan selanjutnya si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit, meski masih bersifat rawan, tetapi ia dibolehkan untuk meminum ASI. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang dapat menjadikan jalinan kasih dan sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ASI).[3]

Akibat permasalahan ini, beberapa yayasan berusaha menghimpun susu-susu ibu yang sedang menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya, kemudian air susu itu dikumpulkan dan distrelilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur, yakni pada tahap kehidupan yang rawan, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberikan selain air susu itu (ASI). Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu puluhan bahkan ratusan untuk bayi-bayi premature, laki-laki dan perempuan, baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang dan hal semacam ini akan terus berlanjut. Padahal persusuan merupakan salah satu faktor yang dapat menghalangi seseorang untuk mengadakan perkawinan, karena sebab susuan sama dengan sebab nasab. Berdasarkan deskripsi masalah inilah, maka bagaimanakah penjelasan para ulama tentang koneksitas hukum antara radha’ah dan bank ASI ? Berikut ini penjelasannya.

B. Pembahasan.

1.      Teori Tentang Radha’ah.

Menurut bahasa, radha’ah berarti penyusuan.[4] Istilah radha’ah dalam fiqh Islam dibahas dalam persoalan hak-hak anak yang baru lahir dan hanya terkait de­ngan penyusuan anak manusia, sedangkan peng­gunaan konsep radha’ah untuk hewan tidak dijumpai dalam fiqh. Ulama fiqh mendefinisikan radha’ah dengan ;

وصول لبن آدمية إلى جوف طفل لم يزد سنه على حولين[5]

Artinya : “masuknya air susu manusia ke da­lam perut seorang anak yang umurnya tidak lebih dari dua tahun.

Dapat difahami bahwa, anak-anak yang dikatakan menyusu adalah anak yang belum mencapai umur dua tahun. Sampai usia dua tahun, perkembangan biologis anak sangat ditentukan oleh kadar susu yang diterimanya. Dengan demikian, susuan anak kecil pada usia dini sangat berpengaruh dalam perkem­bangan fisik mereka.

Persoalan susuan dalam fiqh Islam mempunyai dampak terhadap sah atau tidaknya seorang lelaki menikah dengan seorang wanita. Apabila seorang lelaki ketika kecilnya menyusu kepada seorang perempuan (bukan ibu atau orang yang haram ia kawini), maka diharamkan kawin dengan ibu tempat ia menyusu tersebut, serta seluruh perempuan yang mempunyai nasab dengan ibu susuan itu, baik secara vertikal maupun horizontal.

Dasar hukum tentang adanya radha’ah adalah, firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah an-Nisa’ ayat 23 :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّ تِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّ تِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّ تِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا{النساء :23}

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat di atas memberikan penerang tentang siapa-siapa saja yang disebut sebagai wanita yang haram untuk dinikahi, hal ini lahir bukan karena hal terseut dipraktekan dalam masyarakat, akan tetapi karena ia tidak sejalan dengan naluri manusia yang sehat.[6]

Dasar selanjutnya adalah QS. al-Baqarah ayat 233 :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْ لاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَ لاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَاوَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْ لاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {البقرة : 233}

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Dalam menanggapi kedua ayat di atas, menurut Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya, bahwa pada dasarnya keharaman yang diletakkan agama bagi penyusuan adalah ibu yang menyusukan sebagaimana bunyi ayat di atas. Keibuan yang ditegaskan al-Qur’an tersebut tidak mungkin terjadi hanya dengan menerima atau meminum air susunya, tetapi dengan “mengisap dan menempel sehingga menjadi jelas kasih sayang ibu dan ketergantungan anak yang menyusu”.[7]

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi :

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعَةِ إِلاَّ مَا فَتَقَ اْلأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ {رواه الترمذى}[8]

Artinya : “Dari Ummi Salamah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, tidak haram karena penyusuan melainkan apa yang (seorang bayi) merasa cukup dengannya dan dilakukan sebelum disapih dari menyusui.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka ulama fiqh kemudian menetapkan bahwa rukun radha’ah ada tiga, yaitu anak yang menyusu, wanita yang menyusukan, dan kadar susu. Ulama fiqh membahas masing-masing rukun ini secara terperinci :[9]

a.      Anak yang Menyusu.

Seorang anak yang berhak menyusu itu, menurut kesepakatan ulama fiqh, adalah anak yang berumur dua tahun ke ba­wah, karena dalam usia inilah susu ibu sangat mem­pengaruhi pertumbuhan anak. Alasannya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 233 :

…وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْ لاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ…{البقرة : 233}

Artinya : “…para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…

Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah ditegaskan :

لاَ رَضَاعَ بَعْدَ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ كَذَا فِى هَذِهِ الرِّوَايَةِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ{رواه البيهقي}[10]

Artinya : “Tidak ada pe­nyusuan kecuali dalam batas umur dua tahun. Seperti inilah riwayat dari Ibnu Abbas” (HR. al-Baihaqi).

b.      Wanita yang Menyusui.

Wanita tempat anak menyusu itu ada dua macam, yaitu ibu kandung dan wanita lain. Ulama fiqh sepakat bahwa seorang ibu dilihat dari hukum ukhrawi (diyanat), wajib menyusukan anaknya, karena menyusukan anak merupakan upaya pemeliharaan kelangsungan hidup anak, baik ibu ini masih mempunyai suami (ayah dari anak yang disusui) maupun dalam masa ‘iddah atau habis masa ‘iddah-nya setelah dicerai suaminya. Yang dimaksud dengan hukum ukhrawi adalah, bahwa ibu tersebut bertanggung jawab kepada Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat nantinya dalam menyusukan anaknya itu. Akan tetapi, dilihat dari hukum duniawi (qada’an), timbul perbedaan pendapat tentang apakah hakim berhak memaksa seorang ibu untuk menyusui anaknya. Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa hakim berhak memaksa seorang ibu supaya menyusui anaknya, apabila ibu tersebut masih punya suami atau dalam masa ‘idah al-raj’i (perceraian yang terjadi dan suami berhak kembali pada istrinya se­belum masa ‘iddah-nya habis, tanpa melalui akad nikah baru). Apabila dalam keadaan seperti ini seorang ibu enggan untuk menyusui anaknya, maka menurut ulama madzhab Maliki, hakim berhak memaksanya. Berbeda dengan pendapat di atas jumhur ulama berpendirian bahwa seorang ibu hanya dianjurkan untuk menyusui anaknya. Karenanya, dalam kasus seperti ini, seorang hakim tidak boleh memaksa ibu tersebut menyusui anaknya.

Apabila seorang ibu enggan menyusui anaknya, maka ayah harus mencarikan wanita lain untuk menyusui anaknya dengan memberi imbalan yang wajar. Hanya saja, menurut jumhur ulama, penyusuan itu harus dilakukan di tempat ibunya, karena ibu masih berkewajiban mengasuh anak tersebut. Sekalipun ia enggan menyusui anak­nya, tetapi kewajibannya untuk mengasuh anak tidak bisa lepas begitu saja. Apabila ayah tidak mau meng­upah orang lain untuk menyusui anaknya, maka me­nurut jumhur ulama, ibu berhak mencarikan orang yang bisa menyusui anak tersebut dan berhak pula menuntut uang pembayaran dari suaminya untuk wanita yang menyusui.

Persoalan lain yang dibahas ulama fiqh adalah lama penyusuan anak dengan membayar upah. Dalam hal ini, ulama fiqh sepakat menyatakan bah­wa mengupahkan penyusuan itu maksimal selama dua tahun. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang telah disebutkan di atas. Penghitungan upah untuk ibu, menurut ulama fiqh, dimulai sejak berakhirnya hu­bungan suami istri dengan habisnya masa ‘iddah atau sejak wafatnya suami. Apabila penyusuan itu diupah­kan kepada orang lain, maka penghitungan upah dimulai sejak disepakatinya akad kedua belah pihak, karena menurut ulama fiqh, penyusuan anak pada orang lain termasuk dalam akad ijarah (upah-mengupah).

c.       Kadar Susu.

Dalam menentukan kadar susuan yang bisa mengharamkan nikah antara anak yang disusui dan wanita yang menyusui berikut keturunannya, ulama fiqh berbeda pendapat.

1)      Menurut Daud al-Zahiri, kadar susuan yang mengharamkan nikah itu minimal tiga kali isap, dan jika kurang tidak haram bagi lelaki menikahi perempuan tempat ia menyusu. Alasannya, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ{رواه مسلم}

Artinya : “Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : satu dan dua kali isap tidak mengharamkan (perkawinan)”. (HR. Muslim).

2)      Menurut ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali, kadar susuan yang mengharamkan nikah adalah lima kali susuan atau lebih, dan dilakukan secara terpisah. Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari Aisyah binti Abu Bakar yang menyatakan ;

كَانَ فِيمَا أُ نْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ {رواه مسلم}

Artinya : “ayat al-Qur’an pernah turun dalam mengharamkan wanita tempat menyusu itu jika susuan mencapai sepuluh kali susuan, kemudian hukum di-nasakh-kan (dibatalkan) menjadi lima kali susuan. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, hukum lima kali susuan itu tetap berlaku”. (HR. Muslim).

3)      Menurut ulama madzhab Hanafi dan Maliki, kadar susuan yang mengharamkan seorang lelaki menikahi wanita tempat ia menyusu itu tidak ada batasan yang tegas, sesuai dengan keumuman pengertian ayat 23 surat an-Nisa’di atas. Menurut mereka, yang penting adalah air susu yang diisap itu sampai ke perut anak, sehingga mem­berikan energi dalam pertumbuhan anak. Alasan mereka, selain surat an-Nisa’ ayat 23, adalah sebuah riwayat dari Uqbah bin Haris yang menyatakan ;

حَدَّثَنِى عُقْبَةُ بْنُ الْحَارِثِ أَوْ سَمِعْتُهُ مِنْهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ أُمَّ يَحْيَى بِنْتَ أَبِى إِهَابٍ قَالَ فَجَاءَتْ أَمَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ قَدْ أَرْضَعْتُكُمَا . فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَأَعْرَضَ عَنِّى ، قَالَ فَتَنَحَّيْتُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ قَالَ « وَكَيْفَ وَقَدْ زَعَمَتْ أَنْ قَدْ أَرْضَعَتْكُمَا » . فَنَهَاهُ عَنْهَا{رواه البخارى}

Artinya : “Diceritakan kepadaku dari Uqbah bin Harits atau aku mendengar ia pernah kawin dengan Ummu Yahya binti Ihab, lalu datang seorang budak perempuan hitam seraya berkata: “Aku pernah menyusui kamu berdua.” Kasus ini diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Bagaimana lagi? Ceraikan ia” (HR. al-Bukhari).

Dalam hadis ini Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempertanyakan berapa kali perempuan hitam itu menyusui Uqbah dan Ummu Yahya. Kalau memang kadar susuan menjadi ukur­an haramnya nikah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bertanya lebih lanjut, sehingga jelas kadar air susu dimaksud, karena sesuai dengan kaidah fiqh “meninggal­kan penelitian atau pemeriksaan dalam hal-hal yang mengandung banyak kemungkinan merupakan suatu penjelasan”. Artinya, ketika Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempertanyakan berapa kali susuan yang dilakukan budak wanita itu terhadap Ummu Yahya binti Ihab dan Uqbah bin Haris, maka ini berarti tidak perlu ada penjelasan kadar susuan lagi, karena sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu telah menunjukkan penjelasan secara otomatis. Oleh sebab itu, menurut ulama madzhab Hanafi dan madzhab Maliki, tidak perlu ba­tasan tertentu tentang susuan yang mengharamkan nikah. Adapun hadits-hadits yang mencantumkan kadar susuan tiga atau lima kali, menurut mereka, tidak dapat dijadikan landasan hukum, tidak saja karena terdapat perbedaan pendapat mengenai bilangan susuan dalam masing-masing hadits (hadits mudtharib) itu, tetapi juga karena bilangan itu tidak dijumpai dalam al-Qur’an.

Adapun yang menjadi persyaratan radha’ah, adalah :

a)      Air susu itu berasal dari susu wanita tertentu (jenis identitasnya), baik telah atau sedang bersuami.

b)     Air susu itu masuk kerongkongan anak, baik melalui isapan langsung pada putting payudara wanita itu maupun melaui alat penampung susu, seperti gelas, botol dan lain-lain.

c)      Penyusuan itu dilakukan melalui mulut atau hidung anak (infus) yang disusui. Ulama madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa apabila susu itu dialirkan melalui alat injeksi, bukan melalui mulut atau hidung maka tidak mengharamkan nikah antara anak itu dengan wanita pemilik susu atau keturunannya. Namun, menurut ulama madzhab Maliki, dengan cara ini pun tetap haram.

d)     Menurut ulama Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki air susu itu harus murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Apabila susu itu bercampur dengan cairan lainnya, maka menurut mereka, diteliti mana yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah susu, maka bisa mengharamkan nikah. Apa­bila yang dominan adalah cairan lain itu, maka tidak mengharamkan nikah. Akan tetapi, ulama Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali menganggap susu yang dicampur dengan cairan lain itu pun sama saja hukumnya dengan susu murni dan tetap mengharam­kan nikah. Apabila susu itu dicampur dengan susu wanita lain, menurut Imam Abu Hanifah dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, bahwa yang haram dinikahi adalah wanita yang air susunya lebih banyak dalam campuran itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama termasuk Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110 H/728 M­ dan 158 H/775 M) (keduanya ahli fiqh Madzhab Hanafi) seluruh pemilik susu yang dicampur itu haram dini­kahi anak tersebut, baik jumlah susu mereka sama atau salah satunya lebih banyak.

e)      Menurut madzhab fiqh yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab dan Madzhab Hanbali), susuan itu harus dilakukan pada usia anak sedang menyusu. Oleh sebab itu, menurut me­reka, apabila yang menyusu itu adalah anak yang sudah besar, di atas usia dua tahun, maka tidak meng-haramkan nikah. Alasannya firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang menyatakan bahwa sempurnanya susuan itu adalah umur dua tahun. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

لاَ رَضَاعَ بَعْدَ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ كَذَا فِى هَذِهِ الرِّوَايَةِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ{رواه البيهقي}[11]

Artinya : “Tidak ada pe­nyusuan kecuali dalam batas umur dua tahun. Seperti inilah riwayat dari Ibnu Abbas” (HR. al-Baihaqi).

Akan tetapi, Daud az-Zhahiri mengatakan bahwa susuan anak yang telah besar pun mengharamkan nikah. Alasannya adalah sebuah riwayat dari Aisyah yang menyatakan bahwa Sahlah binti Suhail suatu hari bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, Salim itu telah menjadi anak yang besar, ia tinggal bersama saya dan Abu Huzaifah dalam satu rumah. Salim melihat saya sedang berpakaian rumah, sedangkan Allah telah menjelaskan bahwa laki-laki tidak boleh ber­duaan dengan wanita yang bukan mahram dan muhrim-nya atau melihat aurat wanita. Lalu bagai­mana pendapat engkau?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men­jawab: “Susukan dia, sehingga ia menjadi anak (susuan) engkau.” Kemudian Aisyah mengatakan, Sahlah binti Suhail kemudian menyusui Salim se­banyak lima kali. Akan tetapi, jumhur ulama fiqh, menyatakan bahwa kasus yang terjadi pada Sahlah binti Suhail ini merupakan rukhshah (keringanan hukum; azimah dan rukhshah) baginya, karenanya tidak dapat dijadikan patokan dalam menetapkan keharaman nikah disebabkan susuan.

2.      Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Bank ASI.

a.      Yang Mengaharamkan

Adapun ulama’ yang megharamkan bank ASI adalah perkumpulan ulama timur tengah. Mereka yang menghubung-hubungkan (terjadi koneksitas) antara bank ASI dengan ahkam al-radha’ sehingga mengeluarkan hukum haram karena mereka menarik hukum dari pendapat jumhur ulama termasuk Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, sebagian ulama madzhab Hanbali dan sebagian ulama Mazhab Maliki. Menurut mereka, tidak boleh menjual-belikan atau mengumpulkan air susu manusia dan tidak boleh juga mengkonsumsi air susu yang telah dipisahkan dari asalnya (payudara). Alasan mereka, air susu yang telah terpisah dari payudara wanita, telah berubah status menjadi bangkai. Syariat Islam secara tegas melarang menjual-belikan dan meman­faatkan bangkai. Oleh sebab itu, memisahkan air susu seorang wanita dan menampungnya pada suatu wadah, kemudian mem-perjual belikannya, sama dengan memperjual belikan bangkai yang dilarang Allah subhanahu wa ta’ala. sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Ma’idah ayat 3. Dan juga dilarang oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ رَضِي الله عَنْهمَا أ َنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَاْلأَصْنَامِ {رواه أحمد}

Artinya : “Dari Jabir bin Abdullah ra, sesungguhnya ia mendengar Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu Fath al-Makkah, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi dan patung.

Adapun alasan yang dikeluarkan oleh Abu Hanifah adalah, bahwa haramnya pernikahan karena persusuan itu tidak dilihat sedikit atau banyak si jabang bayi ketika menghisap susu dari (putting) payudara si wanita, walaupun hanya dengan sekali susuan, meskipun hanya sekali isapan, asalkan air susu yang keluar dari payudara itu sudah masuk ke dalam mulut bayi maka terkenalah ia dengan hukum al-radha’ah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يُحْرَمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا ُيحْرَمُ مِنَ النَّسَبِ {رواه البخارى}[12]

Artinya : “diharamkannya nikah karena radha’ah seperti haramnya nikah karena nasab.

Dengan demikian bank ASI juga dapat mengharamkan pernikahan mereka yang meminum air susu berasal dari satu sumber.

b.      Yang Membolehkan.

Adapun ulama’ yang membolehkan adanya bank ASI salah satunya adalah Yusuf al-Qaradhawi, ulama’ dari Qatar. Menurut al-Qaradhawi, tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya  bank air susu ibu adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh Islam,  untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang ber-sangkutan adalah bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.[13]

Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak berkenan menyum-bangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash al-Qur’an serta contoh riil kaum muslim.[14] Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau anak-anak sebagaimana yang digambarkan secara umum patut mendapatkan apresiasi yang tinggi dari seluruh umat manusia.

Bagi al-Qardhawi, yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung  itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank  susu  tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya. Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula  baginya menikah dengan  putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain, menurut pendapat jumhur fuqaha’ karena mereka adalah  saudara-saudaranya dari jurusan ayah, serta masih banyak masalah dan hukum lain  berkenaan  dengan  susuan ini.[15]

Oleh karena itu, al-Qaradhawi membagi masalah ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas, yakni : [16]

1)      Pengertian radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ untuk menetapkan pengharaman.

2)      Kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan.

3)      Hukum meragukan susuan.

Makna radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ dalam menetapkan  pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha’, termasuk tiga orang imam madzhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i,  ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan mereka  samakan pula dengan jalan as-sa’uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus).

Dengan demikian, menurut al-Qaradhawi, asy-Syari’ (Pembuat syariat yakni Allah) menjadikan asas pengharamnya itu pada “keibuan yang menyusukan” sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya :

…وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ…{النساء: 32}

Artinya : “…dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan saudara perempuan sepersusuan…” (QS. An-Nisa’ : 32)

Adapun “keibuan” yang ditegaskan al-Qur’an itu tidak terbentuk semata-mata  karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap payudaranya dan selalu lekat   padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya. Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari’ di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakan-Nya itu seluruhnya membicarakan irdha’ dan radha’ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa al-Qur’an dan as-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan payudara ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.[17]

Oleh karenanya, al-Qaradhawi berpandangan bahwa pendapat yang menenteramkan  hati ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha’ (menyusui) dan radha’/ridha’ (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan kekerabatan-kekerabatan lainnya. Maka sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui bank susu, yang melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut, bukan menghisap dari payudara dan menelannya),  sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha’.[18]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak dijumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam “bank  susu”  selama bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar’iyah yang mu’tabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para fuqaha’, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan argumentasi  kemaslahatan meskipun terdapat kelompok lain yang menentangnya.

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk membantu para ibu yang tidak bisa menyusui bayinya secara langsung, sehingga aktivitas mereka terganggu. Tradisi menyusukan bayi kepada orang lain, dalam sejarah Islam, bukanlah sesuatu yang asing, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. sendiri, ketika masih bayi juga menyusu kepada seorang wanita Arab Badui yang bernama Halimah as-Sa’diyah. Akan tetapi, yang menjadi tradisi dalam Islam ter­sebut adalah menyusui bayi kepada wanita tertentu yang bisa dikenal identitasnya. Sekalipun ulama fiqh juga membahas persoalan menyusukan anak dari seorang wanita yang telah ditampung dalam suatu wadah seperti gelas atau botol, namun ulama fiqh berbeda pendapat tentang kebolehannya.

80

Untuk memperjelas pembahasan ini, berikut penulis paparkan ucapan al-Qaradhawi : “Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam “bank  susu” selama  bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar’iyah yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para fuqaha’ yang telah saya sebutkan di muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan argumentasi yang saya kemukakan di atas.[19]

C. Kesimpulan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka bank ASI menjadi mubah hukumnya dapat memberikaran dampak yang postif. Bahkan akan menjadi wajib hukumnya ketika semakin banyak anak-anak yang diterlantarkan dan tidak ada lagi ibu-ibu yang mau memberikan ASI sebagi sumber kesehatan primer bagi anak di bawah umur dua tahun.


[1] Chuzaimah T Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer II, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 25

[2] Ibid.

[3] Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Al-Qaradhawi, Diterjemahkan oleh Kamal Fauzi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 782

[4] Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita; Edisi Lengkap, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 467

[5] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah Bab Mabahits al-Radha’, Juz 4, h. 126, CD. al-Maktabah al-Syamilah

[6] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Volume 2, (Jakarta: Lenter Hati, 2000), h. 371

[7] Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa; op.cit., h. 375

[8] Imam al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Kitab al-Radha’, Nomor Hadits 1072, CD. Al-Bayan

[9] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), h. 1470-1473

[10] Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, (al-Hindi: Majlis Dairah al-Ma’arif al-Nizhamiyyah al-Kainah, 1344 H), Juz 2, h. 298

[11] Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, (al-Hindi: Majlis Dairah al-Ma’arif al-Nizhamiyyah al-Kainah, 1344 H), Juz 2, h. 298

[12] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Bab al-Syahadatu ‘ala al-Ansab, Juz 9, h. 433, CD. al-Maktabah al-Syamilah

[13] Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Jilid 2, h. 783

[14] Ibid.

[15] Ibid., h. 784

[16] Yusuf al-Qardhawi, “Bank Susu”, dalam http://media.isnet.org, 17 Juni 2008

[17] Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa Kontemporer; op.cit., h. 787

[18] Ibid., h. 789

[19] Ibid., h. 790

2 komentar di “BANK AIR SUSU IBU (ASI)

Tinggalkan komentar